Dua Puluh Empat

1.1K 93 18
                                    

"Gila lu bro, mau nangis anak orang lu marah-marahin."

"Kasihan, Lan. Sumpah deh, mana cantik pula."

Komentar Fajar dan Yogi setelah semua anak magang maupun junior mereka keluar dari ruangan rapat.

Tidak heran memang, sejak hubungan dia dan Erin berakhir Alan berubah menjadi pria super dingin yang cenderung tempramen.

Hanya karena seperintilan kecil saja dia bisa marah tidak jelas, termasuk membentak dan membombardir para mahasiswa magang tadi.

"Lan kenapa sih? Kita kepo nih." desak Fajar.

Alan hanya menatap sekilas lalu kembali menatap layar laptopnya, tangannya menari lincah diatas papan ketik.

"Apanya yang kenapa? Kalian yang kenapa bisa-bisanya lolosin anak magang begitu waktu wawancara."

"Idih, biasanya juga kita berdua terus yang kebagian interview user terus lu fine fine aja."

"Itu siapa tadi yang anak junior, diurus jugalah!" ucapnya dengan nada tinggi.

Untung saja pertemanan mereka bukan baru terjalian seumur jagung, dan tentu kejadian belakangan ini sudah cukup menjelaskan bahwa Alan sedang terguncang batin.

"Dimana-mana kalau punya cewek baru itu seneng, bukan malah nyolot ngajak mutilasi." Balas Yogi.

"Gue emang gak tau gimana jalan cerita lu, tapi gue pernah ada di posisi bodoh kayak lu." Jeda sebentar, "dan karena kebodohan itu buat gue jadi hancur sendiri."

"Ya mungkin terkesan alay, tapi gue jadi enggak tertarik sama wanita manapun karena dipikiran gue enggak ada yang lebih baik dari mantan gue. Padahal gue yang mulai semuanya, gue yang carik perkara, sampai akhirnya dia carik orang yang bisa buat dia lebih bahagia."

"Dan lu tau Lan? Gak ada hal yang paling gue benci kecuali lihat orang yang masih gue sayang justru sayang sama orang lain."

"Super bravo dari anda, bapak Handika Prayogi Januar. Saya turut berduka cita, dibalik ke bajingan anda ternyata masih tersimpan secuil sadboy." Kata Fajar yang langsung mendapat tunjangan keras dari Yogi.

"Biadab."

Alan memang diam, tidak terlalu responsif menanggapi celotehan temannya, tapi kata-kata Yogi tadi cukup merusak pikirannya.

Memang itu yang paling dia takutkan, kehilangan Erin dan melihat wanitanya bersama pria lain. Jangankan melihat Erin menggandeng pria lain, kehilangan Erin saja sudah membuat dia dicap sebagai manusia setengah gila.

Belum lagi mamanya yang dua hari mendesak untuk membawa Erin ke rumah. Bagaimana cara membawanya, nomor Erin saja dia tidak punya, menelpon sahabatnya Bri pun percuma yang ada kupingnya semakin panas.

Mencoba peruntungan dengan mendatangi rumah sewa Erin, sama saja tetap berujung kosong. Tidak sekalipun dia bisa melihat wajah Erin muncul dari balik pintu.

Erin benar-benar menutup pintu maaf untuk Alan. Putus asa? Yasudah jelas, bersama dengan Calya pun Alan tetap terus memikirkan Erin.

Diotaknya hanya ada perbandingan antara Calya dan Erin, bagaimana Erin yang memperlakukannya dengan tulus, bagaimana hatinya yang tidak sadar kalau rasa nyaman yang Erin tawarkan sudah menggeser tahta Calya yang dulu dia agungkan.

Semakin hari pun hubungan mereka semakin hambar, perdebatan dengan masalah yang sama tak kunjung selesai.

Nyaris setiap pertemuan hanya diisi dengan pertengkaran dengan satu objek yang sama yaitu Erin.

Bodohnya justru Alan malah tidak lagi berhubungan badan dengan Calya disaat dia sudah benar-benar putus dari Erin.

Padahal mau dia jungkir balik sekalipun Erin tidak akan perduli. Tapi bayangan wajah sedih dan pilu Erin selalu terputar di otaknya.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang