Dua Puluh Lima

1.2K 110 24
                                    

"Aya..." ucapnya lirih.

"Apa katamu?" tanya Calya lalu matanya mengikuti kemana arah mata Alan.

And well, she knows the reason why Alan suddenly motionless. Ada Erin rupanya disana, berjalan semakin dekat tapi sepertinya belum menyadari keberadaan mereka berdua.

Situasi yang menguntungkan pikir Calya, bukankah ini kesempatan bagi dirinya untuk segera mempertunjukkan bahwa tidak ada satupun orang yang bisa mengalahkan dia.

Tak ada satupun laki-laki yang bisa melepas dan melupakan dia begitu saja.

"Your ex." Ucap Calya tapi seperti Alan masih tidak perduli dan terus menatap Erin yang kini sudah duduk membelakanginya.

Calya berdiri berjalan menuju pelayan yang tadi menulis pesanan mereka, lalu menunjuk kearah meja yang sama dengan Erin dan teman-temannya duduk.

Tanpa perlu persetujuan Alan dia berjalan santai dengan gaya angkuhnya menuju Erin, tersenyum penuh kemenangan.

Padahal tidak ada pemenang yang melakukan kecurangan dan merebut apa yang harusnya menjadi milik orang lain.

Sayangya itu hanya nilai moral yang berlaku untuk orang dengan pemikiran waras tidak seperti wanita rubah berwujud Calya.

Setelah Calya duduk barulah Alan sadar kalau wanita itu sudah berdiri tepat disebelah kursi milik wanitanya.

Matanya melotot, buru-buru dia berdiri dan menyusul ke meja Erin. Tapi percuma, karena kulit Calya sudah bersentuhan dengan tangan Erin.

Dan demi apapun itu berhasil membuat kerja jantung Alan tidak karuan, ada perasaan bersalah yang tidak bisa dia utarakan.

Percayalah, dia tidak baik-baik saja, tidak pernah baik-baik saja semenjak ditinggalkan Erin Cahya Senja.

"Halo, Erin. Nice to meet you after so long," kata Calya menyapa Erin dengan wajah innocent.

"Halah taik, it's nice for you but worst for us," sahut Bri dengan wajah emosinya, menarik nafas sebentar sebelum berbicara lagi, "Mukakmu itu muak kali aku nengoknya, gak usah sok nice nice an lah kalok ngambil punya orang, mukak aja mulus kayak ubin masjid, otak bergerigi kayak gergaji."

Beda dengan Bri, Erin justru memilih diam. Menurutnya tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada menganggap hilang keberadaan orang yang ada di depan mata.

Ya, berpura-puralah untuk tidak perduli sedekat apapun dia sekarang.

"Mau pesan apa, Bri?" tanya Erin tak mengindahkan basa-basi Calya.

"Rin!" pekik Bri tidak terima, bisa-bisanya temannya itu masih sabar batin Bri. Dia saja sudah kalap ingin menggali kubur dan mencampakkan Calya hidup-hidup.

Baru saja Bri ingin menyemprot Calya dan mempermalukan perempuan tidak tahu diri itu di depan umum, sudah ada Alan yang datang.

Berjalan tergopoh-gopoh lalu mencekal tangan Calya dan menarik paksa wanita itu dari meja Erin.

Tapi bukan Calya namanya jika menurut dan tunduk dengan aturan Alan. Dia melawan, memberontak dan tetap ingin ada di samping mantan kekasih dari kekasihnya saat ini.

"Wowww hebat kalian berdua, oh bukan hebat ya anda buaya jantan. Bagaimana bisa tempat kenangan pahit ini dijadikan tempat kencan untuk selingkuhan seperti dia?" tanya Bri.

Sebenarnya yang marah bukan hanya Bri, tapi dua adik kelasnya itu juga ikut membenci Alan. Tapi mereka masih seperti tidak punya hak untuk terlalu jauh menghakimi hubungan kakak kelasnya.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang