Dua Puluh Sembilan

1.4K 116 50
                                    

Yang terakhir Alan ingat adalah dirinya yang bangun ditengah malam ketika tenggorokannya kering tapi kepalanya juga berat bukan main.

Tubuhnya panas kalau tidak salah melihat terakhir kali dia mengukur suhu tubuhnya sudah mencapai 39 derajat celcius lebih.

Dia pikir tidak apa-apa, mungkin besok pagi akan pulih. Tapi rupanya dia sudah terbangun dan berbaring di ranjang yang berbeda.

Alan tau betul ruangan apa ini, ruang rawat untuk orang-orang yang butuh perawatan.

Samar-samar dia dengar suara Mamanya, senang bukan main disaat dia sakit ternyata Mamanya masih mau memberi kasih sayang.

Tapi tunggu, harusnya lebih lengkap kalau ada Erin yang memperhatikannya. Oh bukan, kalau Erin masih bersamanya, tak akan mungkin ada Alan yang terkapar lemah di kasur rumah sakit.

Wanitanya pasti sudah memberi berbagai vitamin dan makanan enak nan bergizi untuk meningkatkan imun tubuh Alan.

Terdengar suara berisik dari luar, antara suara amarah, kesal bercampur entah dengan nada apa Alan pusing menebaknya.

Yang jelas, Mamanya memang masih memberi perhatian tapi masih ada rasa dongkol yang keluar dari mulutnya.
Ada suara Ardi juga membalas pertanyaan sang ratu di rumah keluarga Gunandhya itu, Ardi pasti yang membawanya ke rumah sakit.

Apartemen Ardi saat ini juga sudah seperti apartemen milik Alan. Hanya Ardi yang menerima tanpa perlu banyak bertanya penyebab dia diusir oleh keluarganya.

Walaupun diawal dia memaki, bersyukur karena Alan akhirnya mendapatkan karma yang cukup setimpal tapi lihatlah saat ini, dia justru yang direpotkan dengan kondisi Alan.

“Ma.” Panggil Alan lirih, meskipun begitu Mamanya tetap mendengar dan menoleh lalu berjalan ke arah Alan dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Udah bangun kamu. Makanya punya badan itu dijaga, tiap hari makan, mukak kayak orang gila lagi. Enak-enak hidupmu yang dulu sekarang cewek pilihanmu itu kutelponin pun enggak aktif.” Balas Mamanya panjang lebar.

Wanita paruh baya itu pikir Alan mengerti, tidaklah. Otaknya belum bisa mencerna seluruh kata per kata yang keluar dari mulut si nyonya Gunandhya itu.

“Punya anak laki satu-satunya malah plin plan. Yang buat gara-gara kamu yang nyarik Aya jugak kamu!”

“Tante, si Alan nge-freeze itu gak ngerti.” Sela Ardi tapi si Ibu hanya berdecak lalu pergi keluar dari ruangan meninggalkan Alan dengan kejengkelannya.

Diam beberapa menit, Alan menatap ke atas langit-langit pandangannya kosong tapi pikirannya melayang.
Apakah Aya-nya tahu kalau dia sakit dan masuk rumah sakit atau mungkin sudah tahu tapi tidak perduli sama sekali?

“Tadi aku telpon Bri.” Ardi bersuara, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Alan dalam lamunannya, “Erin kedengarannya panik. She genuine loves you, but you stabbed him.”

Jeda sebentar, Ardi menghela nafas sementara Alan tak berkutik. Hatinya tiba-tiba ngilu membayangkan betapa bodohnya dia menyakiti Erin dan memilih tidur bersama wanita lain yang jelas-jelas tidak jauh lebih baik dari Erin.

“Dia nanyak keadaan kau, then I told that you okay, dokter udah nangani dan gak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Gue tau meskipun dia diem dan minim respon tapi pasti dia mikirin kau, Lan.” Yakin Ardi.

“Selama setengah sadar diri dan badan lo panasnya enggak ketolong itu, cuma nama Aya yang lo sebutin.”

“Nyesel banget sekarang?” tanya Ardi tapi kemudian dia tertawa miris, menertawakan nasip temannya.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang