Delapan

715 65 19
                                    

Hampir pukul lima sore Erin sudah mendarat tepat di depan rumah sewanya. Kepulangan dia tentu disambut hangat oleh tiga temannya yang lain. Bagaimana tidak, kehadiran Erin sangat berpengaruh besar dihidup mereka, terutama Bri.

Erin sengaja tidak memberi tahu Alan bahwa sore ini dia akan kembali, pria itu juga belum ada sama sekali membalas pesan Erin sejak pagi. Mungkin terlalu sibuk hingga pertanyaan Erin pun tidak sempat dibaca olehnya.

Satu jam sejak Erin tiba tidak ada sama sekali ciri-ciri Alan akan membalas pesannya, tidak sama sekali. Masih memperhatikan gawai yang tergeletak di depan kaca hias Erin keluar sebentar mencari pelampiasan melihat acara televisi yang mungkin bisa menghibur rasa rindunya dengan Alan.

Erin

Bang, coba tebak sore ini aku dimana?

Satu tarikan nafas keluar perlahan dari mulut Erin, ini bukan kali pertama Alan lama membalas pesannya, mereka bahkan pernah tidak berkabar sampai dua hari lamanya. Tapi tadi malam, permintaan maaf pria itu seolah mengisyaratkan hal aneh yang mengganjal pikiran Erin.

Permintaan maaf untuk apa disaat tidak satupun dari mereka berbuat salah. Jika ada yang salah lalu salah satu diantara mereka meminta maaf adalah hal wajar, tapi kondisinya justru berbalik.

"Kak Rin rendangnya enak sumpah. Mana banyak lagi." Sela Maya ditengah lamunan Erin.

Erin tersenyum membalas, "Sengaja untuk perbaikan gizi kalian. Makan yang banyak aja."

"Ampun bang jago deh kak, perutku udah gak sanggup suer ini aja udah kekenyangan."

Erin tertawa pun dengan Maya yang hanya tersenyum kecil sambil memegang perutnya, "Adel tuh kak tenggen, gak mau udah, kalok kekenyangan baru tau rasa." Tunjuk Maya mengarah ke dapur yang setelahnya disusul oleh tawa menggema dari Bri.

Mereka berlari menuju satu objek yang sama, melihat keadaan Adel yang kondisinya bukan seperti orang kekenyangan tapi lebih kepada orang mabuk yang sedang terduduk lesu sambil bersender di salah satu dinding dapur, meringis sambil menyeka keringat yang bergerak turun dari pelipis dan dahinya.

"Gilak emang si Adel ini, kayak enggak dapat makan seabad."

"Emang kami belum makan dari tadi pagi kak, Bri." Sahut Maya tahu jika Adel tidak akan sanggup menjawab celotehan Bri.

"Ya tapi enggak maruk jugak kayak besok udah mati aja." oceh Bri sembari membantu Adel untuk berdiri, sementara sebelah kanan Adel sudah lebih dahulu dipegang oleh Erin.

"Jalan-jalan sana."

"Mana bisa dia jalan, Bri." Timpal Erin sambil membopong tubuh Adel yang ukurannya lebih besar dari mereka bertiga, "Mau duduk di sofa tv atau kamar aja?"

"Sofa, kak."

Erin kembali masuk ke dalam kamarnya, memeriksa apakah pesannya sudah dibalas tapi nyatanya sama, belum ada kemajuan. Dia letakkan kembali ponsel miliknya keluar bergabung bersama temannya yang lain.

***

Alan tau jika ada pesan dari Erin tapi pekerjaannya lebih menyita perhatian, baru saja tangannya bergerak hendak menyentuh pesan dari pujaan hati tapi pesan masuk dari teamnya sudah harus ditindaklanjuti segera, mengingat ini bukan lagi problem harian tentang delivery data.

Padahal hari ini Alan berencana untuk melakukan pekerjaannya secara remote tapi apalah daya jika dia harus berkordinasi secara langsung mengenai kelengkapan data yang hampir tenggat waktu tapi tak kunjung rampung.

"Belum kelar?"

Alan menggeleng bahkan sampai pukul delapan malam matanya masih terus menatap barisan tabel memastikan kelengkapan data yang harus sudah sampai di tangan client besok, "Pulang duluan aja, Ga."

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang