Tiga Puluh Tiga

1.5K 84 11
                                    

Hari ini Erin izin pulang lebih awal dari tempat magang, dia sudah membuat janji dengan dosen pembimbing untuk meminta tanda tangan pengajuan sidang.

Akhirnya, masa-masa sulit yang dilalui hampir 3 bulan ini satu persatu mulai memasuki fase yang indah.

"Angga." Panggil Erin melihat Angga tengah melewati koridor antara gedung mahasiswa dan juga pusat administrasi Fakultas.

"Oi Rin, buru-buru duluan ya." Sahutnya hanya melihat Erin sekilas.

Erin paham itu, paham kalau memang Angga tengah menjauhinya belakangan ini. Bri cerita jika Angga sudah mengikhlaskan cintanya yang tak mungkin dibalas oleh Erin.

Angga yang tak pernah lagi mengunjungi rumah sewanya, Angga yang tak pernah lagi muncul dihadapannya sudah cukup menjadi jawaban untuk Erin.

Tak masalah, begitu lebih baik pikir Erin. Karena memang dia belum siap untuk menjalin kasih dengan pria lain.

Kalaupun dipaksa Erin yakin keduanya tak akan baik-baik saja. Dari Alan dia belajar jika hubungan harus dibangun karena 2 orang yang saling menyayangi, bukan salah satunya.

Salah satu hal yang paling membosankan adalah menunggu dosen yang tidak sesuai jadwal. Katanya jam 1 tapi nyatanya nyaris 2 jam Erin menunggu si pembuat jadwal justru masih sibuk tak ingin diganggu.

Ah begitulah birokrasi ini, jika tidak rumit tidak sah rasanya.

"Kak." Itu Tiara. Matanya berbinar ketika memanggil Erin. Dia berlari kecil dari tangga lalu memeluk tubuh mungil Erin dengan kuat.

Erin lupa, sudah cukup lama dia tak lagi berjumpa dengan keluarga Alan sejak hubungan mereka kandas.

"Kakak apa kabar? Lama gak kelihatan makin cantik. Nyesel mampus tuh bang Alan."

Erin tersenyum, "Sehat. Kamu ngapain dek?" tanya Erin balik

"Nih." Tiara mengangkat setumpukkan kertas, "Nganter ini ke dalam."

"Kakak ganti nomor ya? Atau nomor aku diblock? Gak pernah kelihatan aktif lagi."

"Siapa yang ngeblock, ganti nomor aja. Biar abang kamu gak ganggu lagi." Erin berterus terang yang disetujui oleh Tiara.

Sempat ada momen bisu diantara mereka berdua, Tiara sebenarnya tak ingin menganggu Erin, dia juga paham bagaimana rasanya jadi Erin.

Tapi dia juga iba melihat kondisi Alan saat ini, seperti manusia yang tidak lagi punya tujuan hidup. Bahkan untuk berbicara dengan keluarganya saja dia malas-malasan.

"Kak, aku mau ngomong sesuatu boleh? Tapi kakak jangan marah ya, bebas kok mau dijawab atau enggak." Tiara berkata dengan suara yang hanya bisa didengarkan oleh mereka berdua.

Erin mengangguk tak keberatan, "Bang Alan..... apa udah gak ada kesempatan lagi untuk dia kak?"

Erin termenung, sempat menarik nafas dalam tapi dia berpikir Tiara tak bersalah dia hanya orang yang ingin melihat kebersamaan mereka lagi.

Erin menggeleng, "Gatau dek, untuk saat ini jangan dulu ya."

Tiara paham itu, dia paham bagaimana dulunya wanita yang dia harapkan menjadi kakak iparnya ini mencintai abangnya tapi dibalas dengan pengkhianatan.

"Abang udah jarang pulang kerumah, rumah jadi sunyi, kalau abang pulang dia langsung masuk kamar, jarang makan bareng kita." Ucap Tiara lirih.

Tiara ingin menjelaskan jika Alan sangat mencintai Erin, dan berharap ada kesempatan kedua untuk abangnya itu. Dia ingin jiwa Alan yang dulu kembali.

"Abang jadi gila kerja, kerja banget. Sampai rumah kerja bahkan tengah malam aku kebangun terus lewat kamarnya, lampunya masih hidup kak, aku gatau dia ngapain. Tapi pas aku buka kamarnya," Tiara sempat terdiam dia takut Erin menganggap ini semua hanya akal-akalan Tiara tapi tidak sama sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang