Dua Puluh Enam

1.2K 95 15
                                    

Rela menunggu di depan teras rumah Erin hingga dua jam lebih ternyata tetap tidak membuat Erin iba dengan kondisi Alan.

Ingin berjuang? Ya tentu, tapi kalau sudah menunggu dan ternyata ditinggal tidur dengan lampu yang sudah padam, tidak mungkin Alan tetap menunggu seperti orang bodoh.

Yang ada dia diusir karena mengganggu ketenang warga sekitar atau parahnya disangka maling.

Tapi paling tidak ada sisi positif yang dia dapatkan, sesuatu yang harusnya dia lepas dan selesaikan saat ini juga.

Dia diajarkan untuk menjadi pria yang punya pendirian, bukan pria kurang ajar dan bejat yang membuat seorang wanita baik hati menangis.

Maka disinilah Alan berada, di depan pintu apartemen milik Calya. Berharap malam ini meskipun sudah larut dan rasanya kurang ajar tapi dia harus menyelesaikannya.

Mungkin akan dicaci maki, karena dia tau betul bagaimana tabiat Calya, tapi masa bodohlah. Erin jauh lebih penting.

Alan bodoh memang, dia sudah tau. Apa lagi yang dia harapkan dari satu hubungan yang sudah hancur karena ketidak warasannya sendiri.

Harusnya sudah tahu, dari dulu Erin tidak pernah memaafkan yang namanya perselingkuhan, bukan hanya Erin tapi itu komitmen mereka.

Mana ada bangkai busuk yang tetap tersimpan aman.


"Bang it's classic, tapi ini perlu."

"Apa, ay?"

"Kaca ini kalau udah pecah, mau diperbaiki langsung sama si pembuat kaca juga gak bakal bisa kembali utuh."

"I see what the point." sahut Alan.

"Hebat ya abang pacar aku, baru dikasih clue juga udah pinter. Sayang banget sih, beruntung ya aku jadi pacar abang."


Alan menggeleng-gelengkan kepala, kepalanya kembali memutar-mutar kenangan indah bersama Erin.

Manjanya Erin, mata tulusnya Erin, sayangnya Erin hingga bagaimana Erin selalu memuji dan mendeklarasikan jika dia wanita paling beruntung karena memiliki Alan.

Tapi itu dulu, sebelum Alan melakukan satu hal fatal yang membuat Erin jadi berubah dan membencinya.

Alis Alan berkerut, matanya menangkap sepasang sandal pria yang terletak berdampingan disebelah sepatu milik Calya.

Lampu sudah mati, semuanya padam hanya ada satu lampu yang masih bersinar itupun tak terlalu jelas cahayanya.

Dari kamar Calya. Dadanya bergemuruh, firasat buruk langsung tersirat di kepalanya. Dia bukan laki-laki polos yang tidak bisa membaca kondisi seperti ini.

Langkahnya pasti menuju kamar Calya, semakin jelas mendengar suara dua manusia berbeda saling sahut menyahut.

Tanpa pikir panjang, tanpa rasa kasihan Alan langsung mendobrak pintu kamar Calya. And it is true, seperti yang Alan duga.

"Brengsek!" teriak Alan murka tanpa basa basi dia menarik laki-laki yang tadinya berada tepat diatas tubuh Calya dengan kondisi tanpa satu helai benang pun.

"Bajingan!"

Bugh

Bugh

Bugh

Calya masih diam tak berkutik melihat Alan memukul laki-laki itu membabi buta, seperti orang kerasukan setan yang tidak lagi menghargai ada nyawa dari manusia yang sedang dihajar olehnya habis-habisan.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang