🎵14

113 23 3
                                    

rol keempat belas: the shape of jeksa's world

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rol keempat belas: the shape of jeksa's world

usianya lima saat itu, ketika ayah menunjukkan bola besar berwarna biru ditumpu oleh kayu. dengan kayu yang sama pula bola itu ditembus dari ujung ke ujung dan membuatnya tidak menggelinding ke mana-mana.

"bola dunia," begitu ayah menyebutnya. dan bintang tunggal di bawah kelopak itu berpijar. matanya berbinar seraya otaknya mengkonsumsi semua informasi yang diberi.

"bola dunia," ulang bibir kecilnya. ayah mengangguk lalu menggendongnya untuk di dudukkan di atas meja, bersampingan dengan si benda bulat.

ayah memang suka membawa jeksa ke dalam ruang membaca. mengenalkan kebiasaan baik itu sejak dini, walau nyatanya jeksa hanya menghitung berapa banyak jumlah sampul buku yang berwarna merah, atau kuning atau juga biru tergantung moodnya hari itu. lalu ayah akan terkikik pelan di balik buku bacaannya ketika mendengar si putra kesayangan lagi-lagi salah melanjutkan hitungan.

hari ini ayah tidak duduk di sofa membacanya. alih-alih mengambil satu judul buku di salah satu barisan pada rak, ayah justru menarik jeksa mendekat pada meja di sudut ruangan.

"kamu mau coba putar?"

jeksa menatap ayah dan bola dunia itu bergantian. ia masih belum mengerti. "putar?"

"iya. bolanya bisa diputar. ayo, coba."

lalu tangan kecilnya membuat gerakan mendorong pada permukaan bola biru. benda itu bisa berputar!
jeksa tertawa, mainan punya ayah lucu, pikirnya.

"jeksa tahu kenapa ini disebut bola dunia?" ayah bertanya sembari tangannya mengusap sayang kepala sang putra.

"karena bolanya berbentuk dunia?" jawab jeksa ragu nan lugu. tawa ayah berderai. lucu sekali putra semata wayangnya ini.

disela-sela tawa, ayah mengangguk. masih merasa sedikit geli namun tetap melanjutkan bicara. "iya. anak ayah pintar! dunia kita bentuknya bulat, persis seperti bola ini."

jeksa menatap ayah. gerigi otaknya berputar untuk kembali menyerap informasi.

usianya lima saat itu, ketika ia dapat kosa kata baru. dunia.
bentuknya bulat seperti bola.

menginjak usia tujuh belas, referensinya tentang bentuk dunia, berubah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


menginjak usia tujuh belas, referensinya tentang bentuk dunia, berubah.

dunia tidak lagi berbentuk bulat, berwarna biru, dan berputar pada porosnya. tapi berbentuk manusia setinggi 170cm, berambut cokelat, dan bermulut pedas. dunia baru jeksa tidak berputar pada porosnya tapi dia punya gaya gravitasi yang menarik jeksa untuk mendekat untuk kemudian berevolusi bersama.

namanya, zidan.

zidan aksara.

bocah lelaki yang selalu mencoba menyentuh batas tinggi kesabaran jeksa.
bocah lelaki yang suka mencerca semesta serta seisinya.
bocah lelaki yang berdiri tegak namun tetap tampak rapuh bagai kursi tua.

bocah lelaki yang sama, yang pernah berkata dengan suara datar sarat minat,

"semuanya jadi sedikit lebih baik kalau kamu ada di sekitarku."

pada jeksa. diantara heningnya ruang seni dan jingganya langit di luar kaca.

"makasih ya, jeksa." obrolan satu arah itu ditutup dengan senyum ringan si pelontar. meski posisi wajahnya masih tidak mengarah padanya, jeksa bisa melihat betapa tulus tarikan bibir itu tercipta.

"dua ratus sepuluh." bisik jeksa tanpa suara. menambah satu lagi angka pada daftar hitungan senyum zidan yang dibuatnya setiap tahun.

mungkin lucu untuk sebagian orang dan aneh untuk sebagian lainnya, mengetahui bahwa jeksa yang notabenenya seorang lelaki begitu mencintai zidan, sahabatnya, yang juga seorang lelaki. tidak. ini bukan bentuk cinta romansa yang ada pada novel-novel remaja, dengan kupu-kupu di perut dan debaran hangat di dada.

ini adalah cinta, yang jika jeksa urutkan pada segitiga prioritasnya maka zidan ada di puncak piramida.
cinta, yang bila ia harus merelakan dua pertiga jam tidurnya demi menemani zidan melukis, maka akan ia lakukan secara sukarela. cinta, yang jika dirinya mendapat tinjuan keras di bagian rahang akibat beradu argumen dan sahabatnya itu kehilangan kontrol diri, tidak akan pernah ia balas dengan tonjokan pula.

begitulah bentuk cintanya pada zidan. semuanya dibalut oleh kepedulian yang teramat besar dan pemahaman yang teramat dalam.

"zidan," panggil jeksa di suatu sore. menyembulkan kepalanya dari gulungan selimut. mereka menghabiskan waktu di kamar zidan. tepatnya, jeksa memaksa datang seusai kelasnya berakhir.

"apa?" zidan menyahut ditengah-tengah kegiatannya menyuapkan bubur ke dalam mulut. demamnya sudah turun tapi selera makannya masih rendah, untung tempat bubur langganan masih buka sampai sore dan jeksa berinisiatif membelikannya satu.

"ayo temenan yang lama."

"mau berapa lama?"

jeksa mengedikkan bahu. "selamanya?"

"enggak mau." respon zidan cepat. "selamanya itu bukan keterangan waktu. ganti yang lain, yang lebih pasti."

jeksa memutar otak. "30 tahun yang akan datang?"

"cukup pendek."

"100 tahun?"

zidan menyuapkan kembali bubur hangat itu dengan pelan. Menelannya, sebelum kembali bicara. "memangnya kamu yakin bakal hidup selama itu?"

jeksa memberengut, tubuhnya semakin beringsut dalam selimut. "hhh.. kamu memang pintar merusak suasana hatiku."

"ngapain sih kamu sok sendu begitu,"

"kita tuh udah besar, sadar gak sih, dan?"

"ya, terus?"

"kita juga udah temenan lama banget. belasan tahun! bayangin." antusiasnya disambut kernyitan bingung zidan, namun jeksa putuskan untuk tak acuh.

"menurutku, kita itu kayak planet. yang berotasi di dalam lingkaran hidup satu sama lain dan berevolusi bareng-bareng. kayak bumi dan bulan. terus jadi bumiku ya, dan?"

"tapi, sa, bulan itu bukan planet ..."

"dan, yuk berantem ajalah kita,"

hari itu, diam-diam jeksa mengaku, sekali lagi, bahwa zidan adalah bentuk dunianya yang baru.



























arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang