🎵8

138 26 1
                                    

rol kedelapan: fucked up

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rol kedelapan: fucked up

bingkai kaca matanya jatuh, menggantung turun menampilkan manik pekat yang selama ini tersembunyi kan nyata-nyata. keningnya berkerut samar, sibuk menatap gawai di tangannya tanpa mengetik apa-apa. seperti menunggu. pesan, panggilan atau apapun itu muncul di layar. mengundang tanya dari satu lagi presensi yang ada di sana.

meski tidak bisa dikatakan tertutup, jeksa juga bukan orang yang terbuka. teman-temannya hanya tahu jeksa adalah pribadi yang tenang dengan kadar kesabaran tinggi, punya orang tua yang luar biasa baik dan hangat-setelah kunjungan mereka ke kediaman dirgantara untuk membahas proyek manggung di festival tahunan kampus-dan bersahabat dengan salah seorang penerus keluarga aksara.

pada saat-saat tertentu, jeksa bisa menjadi begitu jelas layaknya gelembung sabun. dan hari ini, heru bisa melihatnya. tapi heru tetap diam, membiarkan jeksa berapriori tanpa melibatkan dirinya, toh mencampuri urusan orang lain bukan tindakan yang ia sukai.

jeksa segera beranjak ketika sebuah notifikasi pesan muncul di atas layarnya.
"ru, aku cabut duluan."

"oke. hati-hati, bro."

sambil berjalan, ia membaca satu gelembung chat yang dengan membacanya saja denyut nyeri itu bisa dirasakan. kebingungan dan amarah jadi satu di dalamnya.

judit aksara

|sa, our family is fucked up

jeksa mencoba menghubungi zidan, berdering dan tak lama suara zidan bisa ia dengar.

"oy oy ... di mana?"

"..."

"kamu di mana, dan?" kedua kalinya jeksa menyuarakan pertanyaan.

"hng.. nggak tahu nih. bingung hahaha.. kayaknya aku salah naik bis,"

tinggal beberapa langkah lagi untuk jeksa sampai pada motornya yang terparkir.

"turun aja di halte terdekat, terus kirim lokasi kamu biar aku jemput."

"hahaha nggak usah. aku bisa pulang sendiri."

"heh, mana bisa begitu. aku sudah terlanjur janji jadi ojek kamu, ingat?"

"untuk hari ini nggak perlu. aku bisa."

jeksa menghentikan langkahnya. isi kepalanya ricuh, antara memaksa untuk menjemput atau menyerah membiarkan.

"yasudah," akhirnya mengalah. "kalau makin tersesat langsung hubungi aku, oke?"

"ya kalau aku ingat."

jeksa baru saja akan protes namun bunyi bib menandakan sambungan panggilan sudah diputus, ia menghirup napas dalam-dalam guna meredakan kekesalan. sungguh, zidan memang selalu bisa menguji kesabarannya.

ia lalu mendongak. langit tak lagi biru. kelabu mendominasi setiap sisi, itu tandanya berliter-liter air akan siap ditumpahkan menuju bumi.

pada saat seperti ini ia berharap zidan bukanlah seorang pelupa. kebiasaan menggantungkan payung di balik pintu kamar dan secara perlahan menjadikannya hiasan tak seharusnya mengusik jeksa begitu parah. jika hari ini prediksi hujan itu kenyataan, maka untuk pertama kalinya.

untuk pertama kalinya—

zidan menghadapi hujan diluar sana sendirian.


"sekarang apalagi?" tanyanya pada seseorang di ujung panggilan.

"..."

"dia benar-benar melakukan itu?" alisnya lagi-lagi berkerut samar.

"..."

"judit, dengar, aku nggak tahu titik masalah kalian ada di mana, tapi yang aku tahu pasti ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan itu menyakitinya. lukanya mengarat." jeksa menghembuskan napas berat.

"kamu nggak mau terbuka begitu juga dia, aku nggak masalah. yang masalah bagiku adalah bara di dadanya nggak pernah padam.
dia terlampau marah namun memilih untuk bungkam. dia terlampau kecewa namun memilih menelannya dalam-dalam.

tapi aku nggak tahu pada apa atau pada siapa. bara itu membakarnya hidup-hidup dari dalam, aku ... kita sudah kehilangan setengah dari dirinya."

selama beberapa menit tak ada balasan dari seberang. hanya keterdiaman yang menyelimuti.

jantungnya berderit nyeri. jeksa selalu peduli. amat sangat. meski zidan pernah memberinya peringatan keras mengenai sikap jeksa yang terlalu berlebihan menurutnya, jeksa tetap tak mau berhenti. tepatnya tidak bisa.

tidak.

sebab jeksa pun tidak akan mungkin bisa sampai di sini, berdiri tegak menapak bumi jika bukan karena zidan.

ah, hidup memang terlalu keras dan penuh ranjau. dan mereka sudah dipaksa memahami itu sejak masih belia.

"jika zidan sudah melakukannya, maka aku tetap akan dukung dia. kamu tahu itu." tutupnya kemudian.

lagipula sudah sejak lama ia menaruh curiga pada keluarga aksara itu. jauh sebelum ia secara langsung menyaksikan zidan ditendang sebelum diseret masuk ke dalam rumah, malam itu.

sekali lagi jeksa mendongak menatap langit. tangannya terulur, memastikan rintik hujan di telapak tangan. seraya berbisik dalam hati,

tolong sirami juga bara itu agar padam.




arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang