11 🎨

109 16 4
                                    

chapter direvisi. enjoy!


rol kesebelas: melebur janji


bunyi pergeseran jarum adalah satu-satunya yang terdengar menggaung di ruangan senyap itu. sesekali kendaraan yang berlalu lalang meninggalkan beragam bunyi yang untungnya teredam oleh dinding kedap suara. ini juga yang menjadi alasan mengapa sunyi dalam ruangan berukuran 4 x 5 meter itu terasa begitu menyesakkan bila belum terbiasa. tapi tidak untuk pemiliknya. zidan telentang menghadap langit-langit kamar yang tak sedikitpun menampilkan usang, meski samar-samar bila diperhatikan ada runtaian benang-benang halus di sudut sana. rumah bagi jenis anthropoda bernama laba-laba.

jika bisa diibaratkan, isi kepala zidan kini serupa lautan berbadai. gemuruhnya mungkin tak bisa didengar namun bisa dirasakan melalui tatapan itu.

guntur dan hujan deras di luar tak lagi tertangkap oleh indera seraya matanya kini mencari nama seseorang dalam jejeran kontak pada gawai. dan pada dering kedua, ketika panggilan itu tersambung di seberang sana, zidan mengucapkan satu kata.

"be ready."









zidan tahu ibunya akan menemuinya sesegera mungkin. jadi, sebelum itu ia akan mengambil langkah lebih dulu.

zidan harus berdamai dengan dirinya sendiri, namun selama masih bersitatap dengan keluarganya, ia tak yakin akan berhasil dan malah membuatnya semakin gila. ia harus berdamai dengan dirinya sendiri sebelum berdamai dengan orang-orang yang menyakitinya.

pijakan sepatunya pada lantai marmer tower apartemen yang jeksa tinggali meninggalkan genangan-genangan kecil di sepanjang zidan menapak. keadaan tampak lengang, hujan yang  mengguyur bumi berhasil menghalau orang-orang untuk segera masuk ke apartemen mereka dan bergumul dengan selimut. angin beku yang berhembus kencang dari luar tak pelak membuat zidan mengurungkan niat, dan sekarang di sinilah ia, berdiri di depan pintu bernomorkan 505.

"jeksa?"

jeksa berdiri dan melangkah cepat menuju saklar, menekannya untuk memberikan penerangan yang semestinya.

dan disaat itu zidan menyadari keberadaan judit. lelaki itu berdiri kaku dan kagok, menatap sayu ke arah zidan.
judit tampak kacau. seperti baru saja terkena tsunami emosi. oh zidan bisa tahu dalam sekali lirik sebab ia selalu mengalami itu ketika ngilu tangannya berulah.

"masuk, dan."

zidan melangkahkan kakinya mengarah ke dapur. ia butuh teh hangat, bukan judit dengan wajah kacaunya.

"biar aku yang seduhkan," jeksa menginterupsi dari samping.

"aku bisa sendiri,"

"tangan kamu gemetar,"

oh. ia bahkan tidak sadar bila tangannya gemetar.

"..." zidan tak menggubris. seduhan tehnya berhasil, setidaknya ia tak membuat luka bakar di kulit akibat tersiram air panas. menyesap tehnya pelan ketika jeksa kembali buka suara.

"bang judit habis nangis, dan. nangisin kamu lebih tepatnya. kupikir kalian harus bicara empat mata. kamu nggak bisa selamanya lari dan sembunyi, kamu sebaiknya hadapi dan bisa lihat dari sudut pandang lain," ada jeda yang jeksa tempa, seakan dia menimang kalimat selanjutnya yang akan diutarakan, "he's hurt too."

zidan menatap jeksa dengan ekspresi tidak senang. kedua alis itu beradu pada satu titik.

suara langkah yang mendekat mengalihkan atensi keduanya. judit berdiri di dekat meja makan, "hi, dan." sapa sosok itu.

zidan hanya balas dengan lirikan.

"i— uh ... about today, mom doesn't mean to hurt you,"

kalimat itu bagaikan serangan fajar untuk mental zidan. dari sekian banyak hal yang bisa dikatakan, kenapa harus kejadian tadi siang yang dibahas judit saat ini?

"but she did." ucap zidan lugas. "all of you, finally did."

mungkin zidan sudah gila. ya, mungkin begitu. ia tak yakin mengapa ada rasa puas dalam dada ketika melihat judit tampak tersakiti oleh ucapannya. lalu ia melanjutkan. "congrats, i guess? ini juga pencapaian, bukan begitu?"

"zidan, ..."

"aku masih selalu berpikir," zidan memotong, "apa kejahatan yang kulakukan di kehidupanku yang sebelumnya sampai aku pantas mendapatkan semua ini.

untuk lahir di keluarga ini, untuk mendapatkan semua luka-luka ini, dan ... untuk menjadi adikmu." lagi. zidan merasa menang saat judit kembali mematut ekspresi menyedihkan. ia bisa melihat betapa judit begitu terluka oleh kalimatnya yang terakhir.

suasana ditelan hening. mereka bertiga masih dalam posisi berdiri, seolah menantang derita.

dering pada gawai zidan menjadi pemecah gelembung menyesakkan itu. gelembung yang menyekat ketiganya.

zidan menatap jeksa sedetik kemudian. dan jeksa membalasnya. ia tak kunjung mengucapkan sepatah katapun dan mereka dalam posisi itu selama beberapa detik, yang kemudian diputus oleh zidan terlebih dulu. kakinya bergegas menuju pintu, meninggalkan dua presensi yang senantiasa menatap punggungnya.

"aku pergi."




udara dingin menyapa kulit wajah zidan ketika ia keluar dari lobi. hujan masih belum berhenti meski kini hanya menyisakan rintik-rintik yang bersembunyi dalam gelap. ia menuju mobil yang terparkir tak jauh dari posisinya berdiri dengan felix yang duduk di kursi kemudi.

"sudah?"

"ya." tukas zidan mantap. ia mengabaikan tatapan menelisik felix di antara celah asap rokoknya.

felix menginjak pedal gas dan membawa mereka pergi dari sana.

malam ini, janji untuk terus membersamai antara dirinya dan jeksa akan melebur, menguap, dan hilang bagai asap. sampai nanti, sampai semuanya akan terasa baik-baik saja, ia berharap jeksa akan menyambutnya dengan pelukan hangat saat ia kembali.

mulai besok pagi, zidan akan kehilangan perannya dalam rentang hidup jeksa. mungkin mereka berdua akan runtuh sebab kehilangan pegangan satu sama lain, tapi zidan yakin mereka akan bertahan.

sampai jumpa, sa.


arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang