🎵 4

136 30 4
                                    

rol keempat: sebaik dan buruknya manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rol keempat: sebaik dan buruknya manusia

"mama, apa yang membedakan kita dengan orang lain?"

kala itu jeksa kecil sedang duduk di beranda rumah. menemani mama bermain gitar. kegiatan kecil yang menjadi kebiasaan keduanya menutup hari, menunggu baskara berganti kewajiban dengan si nona bulan.

banyak yang jeksa simpan di kepala kecilnya. menanti untuk disuarakan dan mendapat jawaban. satu diantara puluhan pertanyaan, hari ini ia sampaikan, setelah bermenit-menit penuh kebimbangan.

"aku punya mata, telinga, hidung, bibir, tangan, kaki dan rambut sama kayak yang lainnya. tapi, ma, apa yang buat aku dikenal sebagai aku?"

mama terhenyak.

jeksa masih berusia 6 saat itu.

ya tuhan ... salah aku beri makan apa anakku? pekik mama dalam benak.

ini pertanyaan pelik. mama memutar otak, mencari cara menyederhanakan kata. salah-salah nanti jeksa berbeda menangkap makna.

mama meletakkan gitar, membiarkan dawainya disapa anila. lalu meraih tangan mungil sang putra semata wayang. berharap akalnya tidak melayang dan masih sempat ia selamatkan.

"yang membedakan kamu dengan orang lain adalah apa yang kamu simpan dalam dada, sayang." ucap mama. "namanya perasaan. sepetak ruang yang isinya bermacam. rasa peduli, rasa tanggung jawab, rasa sabar dan banyak lainnya."

menatap mata pekat yang bersembunyi di balik kelopak sipit turunan si papa, mama melanjutkan. "perasaan-perasaan itu, sayang,  membentuk kamu menjadi seorang jeksa yang mama kenal. jeksa yang orang lain kenal.

kelak ...

perasaan pulalah,
yang menuntun kamu menjadi sebaik ataupun seburuknya manusia."

bersama seluruh kalimatnya yang mengalir dari bibir, mama menyematkan doa lamat-lamat, dihembus angin berharap sampai pada langit.

semoga semesta tidak membiarkan jeksa, putraku paling permata, disentuh lara yang membuatnya menyimpan bara dalam dada.

jeksa menggulirkan mata. seluruh ruang dalam kepalanya mengulangi satu kata, perasaan perasaan perasaan. satu pertanyaan sudah mendapat jawaban.

"mama harap, apapun yang terjadi ... kamu tetap berusaha menjadi sebaik-baiknya manusia, jeksa."

bocah itu menggeleng. menarik tangannya untuk disembunyikan dalam ketiak, membentuk gestur tidak setuju. "nggak bisa, mama,"

"kenapa, sayang?"

"aku masih kecil," protesnya. "aku masih mau nakal. nanti saja baiknya kalau aku sudah besar."

tawa mama berderai, disela riuhnya angin badai.

aneh. jeksa menengadah. sore itu nabastala bergemuruh. mengubah jingga favoritnya menjadi kelabu. seakan semesta seperti berusaha menyampaikan sesuatu.

semua firasat tak baiknya disambut oleh kemunculan zidan di pintu gerbang. dengan rintik hujan yang mulai berjatuhan, membasahi seluruh pakaian yang dikenakan. warnanya biru muda namun perlahan berubah menuju gelap kehitaman, seraya sebuah warna merah mengalir dari pelipis mata dibawa oleh air yang ditumpahkan langit di atas kepala.

mama kontan berlari tanpa alas kaki. membawa tubuh mungil yang menggigil itu dalam dekap, menggendongnya untuk berteduh di bawah atap. teras rumah basah, entah oleh air hujan atau air mata. jeksa tak bisa membedakan, sebab mama dan zidan kuyup dengan mata memerah.

jeksa ingat betul, zidan pertama kalinya menangis tersedu sedan di ruang tengah rumahnya. di depan matanya, bocah pendek yang sudah ia anggap sahabatnya itu menggenggam erat ujung baju mama dengan wajah merah dan ingus mengalir deras.

"zidan," jeksa memanggil lembut di balik punggung. "aku boleh peluk nggak?" 

zidan berbalik. menatap jeksa sebentar sebelum mengangguk.

jeksa mendekat dengan lengan yang terbuka lebar. mendekap erat punggung si sahabat. hangat. zidan itu hangat, itu hal pertama yang muncul di kepala jeksa.

lalu saat zidan kembali merengek dan menangis, bagai cerminan, jeksa pun ikut bermandikan air mata.

mama kelimpungan harus mendiamkan dua bocah bersamaan. "jeksa, jangan nangis."

"zidan nangis, mama. jeksa sedih."

"iya, tapi kenapa kencengan kamu nangisnya?" mama bingung.

"sudah ya, zidan sayang ... di sini ada mama dan juga jeksa. kamu nggak perlu takut lagi. kamu mau apa, sayang? mau mama bikinkan nasi goreng?" akhirnya mama mengambil strategi. untuk mendiamkan jeksa, mama harus mendiamkan zidan terlebih dahulu.

zidan menggeleng.

"sop? bubur ayam?" mama masih mencoba. "katakan sesuatu, sayang, pasti mama buatkan."

"es krim."

tidak. bukan zidan. itu jeksa yang nyeletuk disela tangisannya. yang mana kontan membuat mama menyipitkan mata.

"es krim. zidan suka es krim." 

"zidan atau kamu?" mama meragukan ucapan jeksa.

"ish, mama!" jeksa semakin menjadi tangisnya sebab digoda.

mama mengusak kedua kepala kecil itu bersamaan. ia paham betul makna pertemanan keduanya. jalinan itu, mama semogakan, tetap terjaga sampai mereka sudah cukup siap menghadap dunia.





arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang