🎨 3

161 28 4
                                    

rol ketiga: pernah berpikir untuk hidup?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rol ketiga: pernah berpikir untuk hidup?

"kamu yakin?"

zidan merotasi bola matanya. jengah. ini pertanyaan kelima yang sama.

felix yuan, temannya, jika bisa disebut begitu—sebab interaksi mereka terlalu minim untuk diberi arti— menatap tak percaya. dengan mata yang membesar, sampai zidan khawatir takut-takut bola matanya menggelinding dari sangkar.

"zidan, kamu yakin?" lagi, felix bertanya.

"ya, dan itu pertanyaanmu yang ke enam, kalau aku tidak salah menghitung." zidan berujar datar.

dilihatnya felix menggeleng kuat-kuat, kali ini zidan khawatir lehernya yang berpindah tempat.

"kamu beneran gila,"

"... dan kamu gak berhak menghakimi ku kayak gitu, sama sekali,"

felix mendesah, pasrah. matanya mengerjap beberapa kali, lalu berujar pelan, "aku nggak bisa. tapi aku punya cara lain kalau kamu nggak keberatan. dan ini lebih harmless."










"lebih harmless apanya, sialan?!"

zidan memelototi felix yang tertawa keras melihatnya terbatuk hampir kehabisan napas. butuh beberapa saat untuk dengungan tawa itu mereda. "tenang, bung, kenapa tegang sekali? berusahalah untuk lebih rileks, nikmati."

dan untuk selanjutnya,

satu bungkus sigaret habis di bakar api, dalam masa di mana zidan kembali temui kerancuan tanpa tepi.

"kamu kelihatan kacau," felix buka suara setelah beberapa saat membiarkan jeda mengisi ruang diantara mereka. "something must bothering you, tapi bung, kalau boleh kasih saran ... jangan terlalu dipikirkan. hidup itu mengalir, semuanya terus bergerak, kamu nggak selamanya akan ada di tahap ini, apapun yang sekarang kamu lalui."

zidan melirik melalui ujung mata, sembari bertanya dalam hati; sejak kapan felix menjadi begitu bijak?

"felix," panggilnya,

"... apa kamu pernah berpikir ingin mati?"

tidak ada keterkejutan di wajah felix, begitulah yang zidan dapati ketika menilik, seakan itu pertanyaan yang lazim ditemui.

"hm ... mati ya?" felix menggumam. menatap ke kejauhan, seakan mencari ujung dari bentangan langit.

atap gedung fakultas seni menjadi latar tempat saat ini. bangunannya adalah yang paling tinggi secara keseluruhan, membuat sesiapun merasa dekat dengan jagad raya, tempat Tuhan duduk bersinggasana.

siapa tahu,

mungkin—mungkin saja,

Tuhan mau sedikit berbaik hati, mendengarkan.

tentang kesah yang meminta rumah.

"pernah," felix bersuara. "siapa pun pasti pernah, termasuk kamu, iya kan?"

zidan memberi gestur mengangkat bahu, sedikit enggan untuk menjawab, "dulu. tapi akhir-akhir ini semakin intens."





felix menjentikkan ujung sigaret, abunya bersinar sebentar sebelum padam. "oh kayaknya sekarang aku tahu alasan kamu minta aku buat ngelakuin itu, tadi,"

zidan masih asik mengembuskan asap dari mulutnya, mengacuhkan pernyataan barusan.

"tadi kamu tanya apa aku pernah berpikir untuk mati," felix kembali membawa topik awal, "sekarang aku balik pertanyaannya, apa kamu pernah berpikir untuk hidup?"

sesuatu—seseorang yang pertama kali ia pikirkan ketika pertanyaan itu selesai diucapkan adalah ... jeksa dirgantara.

jeksa.

seseorang yang dalam kurun waktu hidupnya tak pernah lelah memastikan pijakan zidan masih berada di dunia. atau, eksistensi zidan tak lenyap ditelan masa.

jeksa.

seseorang yang mengikrarkan diri menjadi sahabat sehidupnya.

zidan ingat satu pepatah, milik khalil gibran, yang dibacanya secara ogah-ogahan pada buku sastra guna menyelesaikan tugas bahasa indonesia.

persahabatan bukanlah sebuah kesempatan, tapi merupakan tanggung jawab yang manis.






"jauh banget sampe sini tersesatnya, kok bisa?"

"nggak tahu,"

lalu jeksa menekuk satu lututnya, "naik, biar aku gendong."

zidan menurut. walau ada sedikit rasa tidak enak dalam dadanya, jeksa juga pasti berjalan cukup jauh untuk mencari keberadaannya, sudah pasti dia lelah.

jalanan hutan dipenuhi akar-akar yang mencuat kepermukaan, sesekali mereka oleng karena tersandung pada akar yang tidak kelihatan.

kegiatan persami pertama zidan sebagai anak pramuka ternyata tak begitu menyenangkan.

"pasti banyak yang nyariin aku ya?"

"iya,"

"kok kamu bisa nemuin aku?"

zidan melihat jeksa mengatur napas sejenak sebelum bicara, kentara sekali jika jeksa kelelahan karena jalanan mulai licin yang mana kemungkinan terpeleset menginjak persentase 90 persen.

"nggak tahu juga sih,"

ia merasa kasihan setelah beberapa kali jeksa harus berpegangan pada pohon untuk bisa bertahan, zidan akhirnya menepuk pundak jeksa pelan.

"turunin aku. kita jalan bareng aja, lagian aku masih bisa jalan,"

"nggak apa-apa. aku masih bisa. lagipula ini tanggung jawab aku,"

"kamu bukan ketua kelompok,"

jeksa mengangguk. "memang bukan, tapi aku sahabat kamu. aku punya tanggung jawab buat mastiin kamu baik-baik aja. apapun yang terjadi."




















"enggak," jawab zidan lugas.

"tapi aku tahu, kalau aku mati ada orang yang bakalan sedih banget karena tanggung jawabnya nggak terpenuhi."

malam ini rasi bintang aquarius tepat berada di atas kepala mereka.

arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang