🎵 6

150 25 2
                                    

rol keenam: bara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rol keenam: bara

"jeksa!"

"woyyy..."

"aku sumpahin congek beneran nih!"

jeksa segera menghentikan tungkai. berdiri kaku setelah diancam kalimat mengerikan.

suara decitan alas kaki yang bertemu lantai marmer mengisi indera pendengaran. lalu dalam sepersekon, sosok yang ingin ia hindari itu sudah berdiri disampingnya.

mereka memutuskan untuk jalan bersisian kemudian.

dua pasang kaki itu berjalan ke arah yang sama. jeksa tidak yakin orang di sampingnya ini punya keperluan di sana, karena bagaimanapun ini bukan gedung A di mana manusia-manusia dengan tangan berlumuran cairan berwarna-warni berada.

mereka menapak pada telundak masih dengan tanpa suara.

bising manusia lainnya mengisi hening diantara, sampai entah pada detik ke berapa salah satunya memutuskan untuk bicara.

"kukira hanya wajahku yang kelihatan kayak tomat busuk, ternyata punyamu juga sama." ia menunjuk wajah jeksa. "itu artinya pukulanku juga sama kerasnya, karena for fuck sake ini rasanya sakit sekali."

tawa keduanya berderai nyaring kemudian.

"benar. rasanya sakit sekali. apakah napasku bau? kupikir aku tidak menggosoknya dengan benar beberapa hari ini karena lebam di pipi,"

felix berusaha menjauhkan diri, "ew .. disgusting."

"hahahah.. aduh.." jeksa menyentuh bagian wajah yang lebam perlahan, sebab kini nyeri menyerang akibat otot-ototnya bekerja terlalu keras. terlebih ketika ia menyadari bahwa lebam di wajah felix membuat lelaki itu malah terlihat begitu menyedihkan.

benar-benar seperti tomat busuk.

"kenapa tawamu semakin keras?!" hardik felix tak terima.

jeksa menumpukan tangan di lutut. berusaha menopang tubuh yang kepalang lemas.

"sumpah, lix, kamu jelek sekali."

"bangsat. hahahah."

suara mereka mengundang atensi masa. namun bukannya marah akibat polusi suara yang ditimbulkan, mereka hanya menggeleng kepala dan sebagian lainnya malah ikut tertawa. yang pasti, privilage mereka sebagai lelaki tampan sedang bekerja saat ini.

kalau tampan, selalu bisa dimaafkan.








satu kaleng soda tersodor. felix menerima dan menenggak setengah dari isinya. jeksa mendudukkan diri di bangku yang sama dengan sebelah tangan menggantung di wajah, menempelkan kaleng soda dingin di sana.

"jadi ... kita baik?"

"kita baik,"

ranting pohon cemara di hadapan bergelayutan mengikuti arah angin yang datang. menyebabkan sinar matahari yang terselip diantara tiap celahnya menjadi hilang-timbul.
surai keduanya ikut terserak oleh sebab yang sama.

hari ini, jeksa dan felix melewatkan kelas masing-masing untuk mengurai benang kusut.

berkelahi sebagai jantan, maka harus diselesaikan secara jantan pula. meskipun dalam hati, jeksa mengakui betapa besarnya nyali felix yang berinisiatif lebih dulu. padahal jika ditilik dari berbagai sisi, perkataan felix ada benarnya,

memangnya dia tahu sekacau apa zidan saat itu?

felix, hanya mencoba membantu. disaat jeksa tidak ada di sana, menjadi tumpuan zidan aksara. walau nyatanya,

bila dipinta ia pasti akan ada.

lalu warasnya menarik garis hitam pekat, membawahi kata pinta. zidan tak pernah meminta.

untuk kehidupannya yang keras. untuk lukanya yang membekas. zidan tak pernah meminta itu semua. dan jeksa tahu dengan benar hal itu.

namun sejujurnya, dalam amarah itu, dalam tiap pukulan yang dilayangkannya ketika itu ...

terselip rasa takut yang cukup besar.

entah untuk zidan,

atau justru dirinya sendiri.

jeksa melirik felix yang mengeluarkan kotak sigaret dari saku celana. hingga felix menghembuskan asap dari celah bibir tebalnya, jeksa tetap berada di posisinya. tidak menjauhi ataupun menegur felix yang seperti tak tahu tempat untuk nyebat.

aroma manis bercampur pahit sigaret menguar di sekitar.

jeksa menoleh kala kotak sigaret berada di hadapan, ia menemukan felix menaikkan satu alisnya sebagai kode menawarkan.

"nggak," tolak jeksa lugas,

felix tak ambil hati. ia memilih memainkan korek api bergambar tengkorak miliknya, sembari tangan yang lainnya sibuk menjauhkan batangan sigaret dari bibir.

"kamu nggak benci sama rokok," ia berujar santai. menyuarakan isi pikirannya.

"bukan berarti aku harus merokok, kan?"

anggukan felix menyetujui balasan jeksa barusan. "memang. tapi ini membuktikan ... kalau ada alasan yang cukup kuat kenapa kamu bisa semarah itu lihat zidan nyebat,"

"aku jadi sedikit penasaran." lanjutnya.

jeksa mendengkus. "curiosity killed the cat."

felix tertawa kecil. "kalian berdua ... memang misterius sekali."

jeksa mengangkat bahu, "hanya, nggak semua orang pantas tahu semua hal tentangmu. begitu prinsipku."

"tapi nggak semua orang itu tumpul, sa." ucap felix. "kamu pasti sadar kalau zidan perlu diselamatkan, kan?"

seperti baru saja tersambar petir, wajahnya pucat pasi. jeksa tak menyangka felix atau siapapun akan menyadari.

"zidan menyimpan bara di dadanya. lama-lama akan membakar habis dirinya sendiri.

kamu ... harus mulai ambil langkah."

jeksa rasa-rasanya ingin berteriak. lantang. marah pada semesta dan dibumbui sedikit sumpah serapah. andai saja ia tahu bagaimana caranya, tak mungkin ada kecemasan serupa gunung tertumpuk dalam dadanya.

sepanjang gulir pertemanan mereka, jeksa tak pernah alfa mencari di mana letak si sumbu api. yang sampai kini masih belum berhasil ia temui.

arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang