🎵 10

143 28 2
                                    

rol kesepuluh: mengeja sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

rol kesepuluh: mengeja sakit

layar televisi itu menyala dengan tanpa suara. Tampilannya berganti-ganti menjadi penerang pada ruang kamar yang lampunya sengaja dipadamkan.

dua botol coke dan sepiring keripik ubi tergeletak di atas meja kaca.

dan dua manusia di dalamnya menatap layar itu dalam mode hening.
suara jam dinding terdengar begitu nyaring. Begitupula dengan hembusan napas yang mengembun di udara.

"benci, punya makna yang kuat, kamu tahu," jeksa menoleh pada sumber suara. "ketika seseorang mengatakan bahwa dia membencimu tepat di depan wajahmu, percayalah, kamu nggak bakalan punya kemampuan untuk bergerak seinci saja. kakimu serasa dipaku di tanah. dan setengah duniamu luruh dihantam perasaan bersalah."

judit menunduk. suaranya terdengar parau bagai rumah yang baru saja diterjang angin kencang, reyot dan menunggu untuk runtuh.

lelaki itu terlihat amat rapuh.

"kami dibesarkan dengan rotan yang siap melayang kapan saja. kesalahan, kecil ataupun besar, sama saja, akan membuat bekas baru di permukaan kulit. kami, dibesarkan untuk jadi sempurna, tanpa cacat." helaan napas judit terdengar semakin berat.

"tapi kami cuma dua bocah manusia. Apa yang mereka harapkan?"

kisah ini terlalu pilu untuk diperdengarkan. dongeng gelap yang tak seharusnya muncul ke permukaan. dan jeksa tidak siap dengan segala prasangka nya yang ternyata benar.

tidak. jangan sampai.

selama ini ia menyebut kediaman aksara sebagai neraka sebab tahu kalau zidan tak pernah pulang dari sana tanpa lebam di wajah. saat mereka kecil pun, zidan tampak sering sembunyi dan menangis tanpa suara di bawah salah satu perosotan dalam komplek.

dan jangan lupakan rengekan menyedihkan sore itu, dengan luka robek di pelipis mata.

kilasan balik menghantam judit kuat-kuat hingga rasanya ia ingin menangis. ajaran ayahnya yang keras, larangan bagi seorang lelaki untuk menangis melekat erat bagai kerak pekat dalam alam bawah sadarnya. tapi sekali saja-

untuk kali ini saja,

judit mau menangis tanpa takut dicerca.

"orang-orang nggak tahu kalau tiap kali aku di sirkuit dan duduk di atas jok motor itu, aku kesulitan bernapas." tukas judit.

"aku kesulitan bernapas karena aku selalu ingat kalau aku merampas kehidupan ini dari adikku. seharusnya aku ada di bangku penonton, bawa buket bunga dan teriak paling kenceng kalau dia menyentuh garis finish, sa. seharusnya aku di sana. kalau aja aku nggak lari ke papa dan kasih bungkus rokok itu. kalau aja aku nggak jadi penyebab tangannya hancur-"

satu persatu air matanya menetes hingga kemudian berubah menjadi aliran deras. selajuran pipinya basah dan bibirnya bergetar samar.

jeksa berpindah posisi dan memeluknya. semarah apapun ia pada lelaki ini sekarang, tetap saja, judit adalah orang yang ia sayang. sebelum judit menjadi asshole, dia adalah seorang teman dan abang yang menjadi panutan. mereka tumbuh dalam lingkup yang sama bertahun-tahun, dan jeksa tidak bisa begitu saja mengabaikan dan membencinya, meski ia tahu betapa besar rasa sakit yang zidan tanggung, namun jeksa paham betul kalau judit pun sama sakitnya.

ia menepuk pundak judit pelan. "nangis. nangis yang kenceng ... bang."

dan judit meraung semakin keras. meluapkan semua rasa sedihnya bagai gelombang pasang yang tak kira-kira. merusak karang. tsunami di matanya dan gempa bumi di badannya. ia gemetar.

jeksa hanya memeluknya semakin erat, sebagaimana dulu mama memeluknya saat lututnya berdarah dan terasa sakit luar biasa. sebagaimana dulu zidan memeluknya saat trauma lama menghantam di jam dua pagi. sebagaimana dulu ia memeluk zidan saat dia menangis tanpa suara sambil memegang tangan kanannya yang katanya nyeri.

pelukan adalah sebentuk gestur peduli. dan tanda bahwa meminta untuk berbagi rasa sakit. agar si pemilik luka tak menanggungnya sendirian.

dan kini jeksa merasakannya. rasa sakit judit yang tak semata-mata goresan belaka, ini- ini lebih dari itu semua.

"it hurts so much," lirih judit disela sesenggukan. "i miss him. i miss my 'lil brother."

jeksa hanya bisa menggigit bibir. meredam sendiri rasa sakit dan sedih yang judit bagikan.

"kupikir kalian harus bertemu dan bicara dari hati ke hati,"

"andai semudah itu, sa."

ya, andai semudah itu. jeksa terpekur. zidan bukan orang yang mudah, sulit ditebak jalan pikirnya tapi bagaimanapun, zidan tetaplah seorang adik. dan seorang adik tetaplah adik sehancur apapun hubungan persaudaraan keduanya. seorang adik tetaplah seorang adik yang menyimpan rasa kasih dalam dada pada saudaranya walau telah lama tak tersentuh dan berdebu.


"jeksa?"

panggilan dari arah pintu yang terbuka, dengan sosok yang membelakangi cahaya dari luar serta-merta merebut atensi dua manusia itu dengan dada yang ribut.

itu zidan.


















arrivederciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang