Extra 2: Nothing Like Us

15.1K 1.8K 81
                                    

Baca ulang Extra 1 ya~

Tell me, was it worth it?
We were so perfect
But, Baby, I just want you to see ....

There's nothing like us
There's nothing like you and me
Together through the storm

Nothing Like Us—Justin Bieber (covered by Jungkook)

Sumpah kudu diputer mulmednyaaaaa 😭😭😭

———————————

Aula kampus tampak lengang. Geladi bersih terakhir selesai setengah jam yang lalu dan semua orang sudah pulang. Menyisakan panggung besar yang lampunya tetap dibiarkan menyala, sementara deretan bangku penonton sudah temaram.

Di sana, di deretan bangku penonton di baris tengah, dirinya duduk takzim bersama Rama. Memandangi panggung besar yang kosong. Sheila ingin tinggal sebentar, sekadar duduk diam seperti ini. Bukan tanpa alasan, dia tahu Rama juga ingin melakukan hal yang sama. Ini pentas terakhirnya sebelum sidang skripsi, Sheila ingin menemani Rama untuk menyimpan kenangan ini baik-baik. Karena dia tahu persis, mungkin setelah ini, Rama akan beranjak ke panggung yang lebih besar.

"Ini pentas terakhir kamu di kampus, gimana perasaan kamu?" Sheila menoleh sebentar, melihat Rama yang tampak lekat memandangi panggung dengan segenap hati.

"Aku deg-degan banget."

Sheila kembali menatap ke depan. "Aku yakin bukan karena takut salah dialog."

Perempuan ini memahaminya dengan sangat baik. "Takut kalau ternyata nggak ada tempat yang sebaik panggung di sini."

"Kamu selalu punya panggung di mana pun kamu berada."

Kini Rama yang menoleh. "Yas."

"Hm?"

"Aku nggak peduli akan sebesar panggung apa yang kutemui selanjutnya." Menatap lembut. "Asal ada kamu di sana."

Sheila terkekeh. "Maksudmu aku disuruh ikut pentas? Ayolah. Kamu tahu, aku nggak sepercaya diri itu. Aktingku jadi figuran aja jelek."

"Lebih tepatnya sengaja dijelek-jelekin. Biar apa, Yas?" Rama kemudian menjawab sendiri. "Aku nggak tahu kenapa kamu lebih suka dukung aku di balik layar, ketimbang berdiri sejajar di atas panggung."

"Ketika di balik layar, dukunganku bisa lebih maksimal, Ram."

"Ya tapi mau sampai kapan kamu berdiri di deket tirai panggung?"

"Nanti kalau capek, aku bisa duduk di bangku penonton. Aku bakal tepuk tangan yang paling keras." Sheila lantas bertepuk tangan, tentu saja menggema di aula yang senyap. "Segini cukup?"

Rama tak kuasa menyungging senyum. Hatinya yang semula sendu, tiba-tiba menghangat. Dia awalnya bingung kenapa Sheila menolak diajak pulang, tapi kemudian mengerti ketika beberapa menit duduk di sini. Perempuan ini selalu tahu apa yang dia butuhkan.

Tepuk tangan lagi. "Segini?"

Satu tangan Rama merangkum kedua tangan Sheila. Menurunkannya dan membawa ke lengan kursi di antara mereka. Menggenggamnya erat. "Yas, karena ini pentas terakhir sebelum wisuda, aku jadi sentimental. Beberapa hari terakhir aku kayak kilas balik ke masa-masa penuh perjuangan. Ya kamu tahulah gimana kondisi kami, kamu bahkan ikut ngerasain."

Sheila duduk dengan nyaman dan mendengarkan. Tak melepas tatapannya dari wajah Rama.

"Aku juga mikir, setelah ini aku bakal gimana. Bukan bingung jalan mana yang mesti aku ambil, tapi takdir seperti apa yang datang menghampiri. Cemasku memang kadang berlebihan."

"Wajar kalau cemas. Karena kamu lelaki, yang secara naluriah berpikir beberapa langkah di depan ketimbang perempuan. Banyak yang mesti kamu siapkan. Salah satunya, kamu ingin hidup kamu tetap nyaman, makanya kamu mencemaskan banyak hal."

"Kamu benar. Hidupku saat ini nyaman. Salah satunya, karena ada kamu."

"Nggak juga ah. Pertama kenal kamu, aku tahu kalau kamu memang anaknya benar-benar tahu apa yang dipengin."

Hanya helaan napas mereka yang terdengar. Rama sibuk merasakan hatinya yang membuncah. Sheila ikut diam dan membiarkan Rama menyimpan kenangan.

Setelah beberapa menit. "Temani aku ya, Yas."

"Kita pulang sekarang? Mau mampir ke mana? Ah iya, kamu belum maka—"

"Di masa depan."

Sheila terdiam dan membeku seketika.

"Nggak hanya kemarin dan sekarang, temani aku di masa depan juga." Rama mencari fokus di mata Sheila sebelum mengunci tatapan mereka. "Aku boleh kehilangan panggung mana pun, semegah dan sebesar apa pun, tapi nggak dengan kamu. Kamu harus tetap ada di sampingku. Dengan begitu, aku bisa membalas semua yang kamu lakukan. Dua kali lipat, nggak, sebanyak apa pun yang kamu butuhkan."

Lihatlah, dia ada di rencana masa depan lelaki ini. Dia akan berada di sana. Akan turut menyaksikan pencapaian-pencapaian cemerlang seorang Rama. Segala hal yang dia saksikan selama beberapa tahun ini, akan terulang kembali. Dia akan ada di sana lagi. Memeluk dengan bangga. Menangis tersedu. Hati Sheila sempurna buncah hanya dengan membayangkannya. Bukankah itu terlalu indah untuk dia terima?

Air mata bahkan sudah menggelayut di sudut mata. Sekali kedip maka luruh sudah. Tapi dia bertahan. Ada yang juga ingin dia sampaikan sebelum tangis mengambil alih. "Kamu udah hebat hanya dengan diri kamu sendiri. Berlebihan kalau aku ambil bagian yang paling banyak. Aku cuma melakukan apa yang menjadi bagianku. Sejak awal, kamu tahu apa yang kamu pengin, Ram. Dan aku bangga, bisa membersamai langkah kamu."

"Aku bahagia karena kamu orangnya, Yas, bukan orang lain."

Genggaman di tangannya terasa lebih erat. "Bisa jadi orang lain justru lebih baik dari aku."

"Kamu yang terbaik."

"Tapi hidup kamu isinya nggak hanya aku aja. Nanti pasti lebih banyak perempuan-perempuan hebat yang datang ke hidup kamu."

Rama menggeleng. "Kamu nggak akan terganti."

***

Extra 3 update jam 21.30 ❤

Rabu/06.01.2021

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang