Chapter 1

24.9K 2.6K 85
                                    

"Menurut Rama, fenomena selebgram yang viral ini gimana sih? Apakah pantas disebut public figure?"

Selepas dari studio talkshow, sudah ada beberapa wartawan acara gosip yang menunggunya. Ini masih terlalu pagi untuk memburu berita. Tapi lingkar pekerjaan mereka yang sama, membuat Rama sangat paham. Jadi alih-alih kesal, Rama berhenti di satu titik untuk menjawab pertanyaan mereka. Dia juga tidak sedang buru-buru.

"Aku lihatnya dari dua sisi. Yang pertama, selama mereka membawa contoh baik dan bisa dijadikan panutan anak-anak remaja, aku rasa nggak masalah. Yang kedua, untuk bisa disebut public figure, mereka harus mempunyai karya. Karena yang sudah-sudah, keviralan mereka ini akan redup begitu saja kalau nggak ada karya. Jadi, ya, selama masih booming, tunjukan karya terbaik."

"Kalau soal asmara, Rama suka tipe wanita yang bagaimana?" Salah seorang wartawan membelokkan topik.

Rama tersenyum salah tingkah. "Aku nggak ada tipe ideal."

"Kabarnya lagi dekat dengan model Sandra Lee?"

"Waduh, dengar dari mana, Mbak?" Rama ingin tertawa, tapi ditahan. "Kami berteman sejak kecil. Beneran. Ini kalau sampai tunangannya tahu, aku kena marah Sandra ini."

Semua orang tertawa.

"Kalau dengan Rinjani Aria, apakah masih berlanjut?"

Rama menggaruk tengkuknya. "Kalian tanya sendiri deh sama orangnya. Aku nggak mau komentar gimana-gimana. Takut salah ngomong."

Mereka justru kian bersemangat. "Kenapa? Sudah putus? Ada pihak yang menentang?"

Putus bagaimana? Mereka belum sampai di tahap itu. Dia memang dekat dengan Rinjani. Dan Rama memang ada rencana untuk mendekati lebih dari teman. Tapi setelah tahu bagaimana Rinjani yang akrab dengan dunia malam, Rama memutuskan mundur. Dia sadar kalau mereka tidak akan cocok.

"Udah yaa. Thankyou." Rama pun pamit dari kungkungan para wartawan. Andra sigap datang dan mengawal.

Di mobil, Andra tergelitik untuk bertanya. "Lo masih ketemu sama Rinjani?"

"Udah nggak sejak malam itu."

Andra tahu maksudnya. Rama sudah cerita semuanya. "Gue masih aja mikirin ini. Gimana kalau malam itu gue lupa diri."

"Padahal Rinjani udah nyekokin lo perangsang. Seharusnya lo lupa diri."

"Gue nggak tahu di balik wajah polosnya, dia begitu."

"Btw, gue penasaran." Andra melirik sekilas sebelum kembali ke jalanan di depan. "Lo udah kacau sekacau-kacaunya gara-gara obat perangsang itu. Kenapa lo bisa nahan diri?"

"Gue ingat Mama."

Andra terdiam.

"Setiap apa yang gue lakukan, gue selalu ingat Mama."

"Jadi ini ya rahasia lo sampai bisa dipuji sama Pak Sutradara. Akting nangis lo juara, katanya."

Rama mendecak. "Masih banyak yang lebih keren dari gue."

"Mau makan di mana?"

"Anterin gue ke rumah sakit."

"Ya udah, makan di kafetaria rumah sakit pun gue oke." Andra tidak pernah banyak bertanya jika menyangkut rumah sakit.

***

"Gue salah menilai selama ini."

"Apa?"

Andra menoleh lagi ketika seorang perawat lewat. "Di sini bening-bening. Pantes lo betah."

"Pikiran lo nggak jauh-jauh dari perempuan tapi masih aja jomblo."

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang