Chapter 22

12.4K 2.1K 286
                                    

Luthfi Aulia ft. Nadila Rawil—I Still Love You (cover)

—————————

Akhir bulan yang ditunggu Sheila tiba lebih cepat. Terasa begitu karena dia sengaja menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Bekerja lebih keras, menulis artikel lebih banyak. Pulang larut dari yang semestinya, terjaga sepanjang malam, lantas paginya muncul di kantor dengan muka bantal. Tapi setidaknya, di antara rutinitas itu, dia selalu menyelipkan jadwal kunjungan. Bahkan seminggu dia bisa datang tiga kali. Terasa menyenangkan sejauh ini. Seperti anak perempuan dan ibu yang duduk bersama. Membicarakan apa saja.

Sheila tampil cantik malam ini, seperti pujian yang dilontarkan petugas di lobi barusan. Dalam balutan dress selutut berwarna mauve dengan potongan bagian dada dan punggung yang sopan, Sheila memang anggun. Rambut panjangnya dibuat ikal di bagian ujung. Riasan wajahnya juga terlihat natural. Sheila tidak suka menjadi pusat perhatian, maka dia memilih menjadi biasa-biasa saja. Atau memang style-nya seperti ini. Dia tidak terlalu pandai merias diri. Begini saja dia sudah hebat. Dulu, di bangku sekolah, ketika teman-temannya sudah pandai menggunakan eyeliner, dia baru di tahap lipgloss.

Tempat resepsi pernikahan Sandra diadakan di gedung Convention Center terbesar di ibu kota. Tamunya juga tidak main-main. Beberapa pejabat turut hadir, selain tentu saja rekan di dunia entertainment. Sheila tidak minder, hanya saja dia tidak punya teman mengobrol. Andai saja dia tidak mengurungkan niat untuk mengajak Baim. Lelaki itu pasti mau.

Kalau begitu dia akan meninggalkan acara lebih awal. Hanya perlu menunggu pengantin naik ke pelaminan, sesi menyalami, lalu dia bisa pulang. Tidak makan juga tidak apa. Dia ke sini bukan untuk numpang makan.

Sheila berdiri clueless di antara para tamu dan tidak berusaha mencari circle. Mencoba mengedarkan pandangan. Mendengar beberapa percakapan random, yang rata-rata bicara soal kabar dan pencapaian ini-itu, lalu kembali ke diri sendiri. Dia beberapa kali melihat jam di tangan. Acara dimulai lima menit lagi jika sesuai dengan undangan. Para tamu juga sudah memenuhi gedung.

Jangan khawatir. Sheila tidak lupa acara ini milik siapa. Dia sudah memikirkan hal ini sejak jauh hari. Dia akan bertemu Rama di sini. Entah bentuk pertemuan yang seperti apa, apakah sedingin di atap kafe waktu itu atau lebih parah, Sheila sudah siap dengan semua kemungkinan—yang terburuk sekalipun.

Hidup telah mengajarinya satu hal. Semua yang kita ingin, apa yang kita benak dan harapkan untuk terjadi, bisa jadi berakhir mengecewakan.

Sheila belum melihat lelaki itu sejak dirinya di sini sepuluh menit lalu. Dia secara tidak sadar mencari di antara para tamu. Tapi sudut matanya belum menemukan. Mungkin memang belum datang—tidak ada masalah serius dengan bahunya lagi, 'kan?

Isi pikiran Sheila terpatahkan ketika satu rombongan bergeser dari tempatnya. Saat itulah dia bisa menemukan Rama—berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Lelaki itu tidak bersama Andra, tapi bersama seorang perempuan cantik. Terlihat mengobrol hangat, karena sesekali keduanya saling melempar tawa. Gestur yang, harus Sheila akui, menyenangkan. Keduanya tampak akrab dan nyaman.

Sheila memutuskan untuk mengalihkan pandangan, tepat ketika Rama menyadari keberadaannya.

***

"Ram?"

Lengannya disentuh. Rama menjawab tanpa mengalihkan tatapannya. "Ya?"

"Lo ngelihatin siapa sih?"

Nadhira, yang memang datang bersamanya ke gedung ini, akhirnya mengikuti arah pandang Rama dan berhenti di seorang perempuan bergaun mauve. Tersenyum penuh makna. "Jangan-jangan dia ya yang bikin seorang Rama sulit didekati perempuan selama ini?"

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang