Chapter 17

12K 2K 118
                                    

Rama sedang dalam penanganan.

Itu yang Sheila dapat setelah melajukan mobilnya seperti orang kesetanan menuju rumah sakit terdekat dari TKP. Dia menemukan Andra yang terpekur di kursi tunggu. Sheila kemudian melakukan hal yang sama di sebelahnya. Duduk menunggu dengan cemas. Dia bahkan lebih panik dari Andra. Tidak disuarakan tapi gesturnya amat kentara.

"Kata petugas ambulans, Rama masih sadar kok pas dibawa ke sini. Cuma cederanya emang parah. Bahu sama kepala. Semoga nggak kenapa-kenapa." Andra coba menenangkan, tapi justru dia sendiri yang semakin takut.

Tak lama setelahnya terdengar langkah terburu yang mendekat. Sandra datang dengan pipi yang basah. Andra sigap menariknya duduk, berniat menjelaskan pelan-pelan.

"Lo kerjanya gimana sih, Ndra! Kenapa biarin Rama nyetir sendiri?!"

Andra pun menyadari, percuma mendebat, dia memang salah. "Iya, gue salah. Karena nggak maksa dia ikut gue aja."

"Terus Rama gimana sekarang? Kalau sampai dia kenapa-kenapa—"

"Masih penanganan, belum diputuskan pindah ke ruang biasa atau ICU."

"Mobilnya remuk, Ndra. Gue nggak kebayang gimana keadaan Rama!" Tangisnya semakin histeris. "Kalau sampai Rama kenapa-kenapa, gimana sama Tante Tiana? Siapa yang bakal jagain—"

"Sandra, plis, berhenti mikir jauh. Rama bakal baik-baik aja."

Suaranya memelan dan bergetar. "Gue nggak sanggup lihat dia kesakitan."

Andra menyandarkan kepala di dinding, menoleh ke arah Sheila yang semakin diam. Berbanding terbalik dengan Sandra.

Selepas kehadiran Sandra, pandangan Sheila tidak lepas dari pintu. Jika Sandra bisa datang secepat itu, maka hanya menunggu waktu, keluarga Rama pun akan datang.

Satu menit berlalu. Tidak ada. Sheila masih belum beralih dari pintu.

Lima menit. Sepuluh menit. Tetap tidak ada.

Apa mungkin Andra lupa mengabari keluarga Rama?

Ketika Andra menatap ke arahnya setelah menenangkan Sandra, Sheila menggunakan kesempatan itu untuk bertanya. "Ndra ... keluarga Rama mana? Udah dikabari, 'kan?"

Andra membuka mulutnya beberapa kali, tapi jawaban tak kunjung keluar dari sana.

Pintu IGD terbuka dan ranjang Rama didorong keluar. Pertanyaan itu menggantung begitu saja. Ketiganya sontak berdiri, mendekat. Rama masih mengenakan kemeja putih yang penuh bercak darah dan dalam keadaan tidak sadar. Dokter menjelaskan jika Rama telah diberi suntikan pereda nyeri dan akan menjalani operasi di bahu besok pagi. Untuk sementara juga diberi obat tidur. Beruntung tidak ada masalah serius di bagian kepala, meski harus menerima banyak jahitan di bagian dahi.

Rama dipindahkan ke ruang inap. Andra mengurusnya ke bagian administrasi. Sheila dan Sandra mengikuti dua perawat yang mendorong ranjang menuju lift dan naik ke lantai dua puluh.

Sheila menatap jemari Rama cukup lama, karena jujur dia tidak sanggup menatap wajah tertidur Rama yang di baliknya merasakan sakit. Perlahan, dia gerakan tangan untuk mengambil jemari-jemari itu. Menggenggamnya hati-hati. Kecemasannya pelan-pelan sirna. Dia bersyukur lelaki ini tidak mengalami luka yang serius.

Lift tiba di lantai dua puluh. Tanpa melepas genggaman tangannya, Sheila tetap senantiasa berada di samping ranjang. Demikian pula dengan Sandra yang ada di sisi yang berlawanan. Sama-sama lega karena ketakutan mereka tidak sepenuhnya terjadi.

Andra menyusul tak lama kemudian, bersamaan dengan perawat lelaki yang datang membawakan baju pasien. Berniat mengganti baju Rama dan ....

"Yuk, para perempuan, keluar dulu." Andra dan perawat itu sudah bilang tadi kalau Rama akan ganti baju. Tapi keduanya justru masih memperhatikan. Andra pikir mereka paham.

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang