Chapter 11

13.5K 2.1K 102
                                    

Kita ngadem di sini dulu ya, setelah pada kerasukan di RWIT chapter 16. Susah emang punya anak laki hujatan sejuta umat 😭

—————————

Sheila dan Baim tiba tepat setelah set untuk syuting iklan sudah siap. Rama pun mengenakan style yang berbeda dari biasanya, menyesuaikan dengan konsep iklan. Di balik balutan celana jins yang sobek di bagian lutut dan kaus dengan luaran kemeja tanpa dikancing, ditambah dengan sepatu converse. Sangat berbeda dari Rama yang biasanya. Sheila sempat memperhatikan sekilas sebelum mengedarkan pandangan, menyapa staf produksi di sana. Sementara Baim menemui Andra.

Mereka menyambut Sheila dengan ramah. Dia dipersilakan duduk di meja yang sebenarnya penuh dengan barang, terutama produk minuman isotonik yang menjadi proyek Rama kali ini. Dia bahkan harus memeluk ranselnya karena tidak ada tempat untuk sekadar menaruh barang lain kecuali keperluan syuting. Mau taruh di dekat kaki kursi, Sheila takut kalau-kalau mengganggu langkah para staf.

Sheila lebih banyak diam dan mengamati sekitar. Dia hanya menjawab seperlunya dan tidak balik bertanya. Di balik arahan sutradara, Rama terlihat serius mendengarkan. Sheila pun meneliti dari jauh, lelaki itu sudah sembuh sepertinya. Entah sungguhan sembuh atau dipaksa sembuh demi pekerjaan yang sudah menunggu.

Apa yang ditakutkan Sheila tadi sungguhan terjadi. Seorang kru yang cukup tambun menabrak ujung meja. Membuat deretan botol jatuh ke lantai dalam sekejap tanpa sempat dicegah.

"Hati-hati, dong, Bro." Kru yang lain menegur, tapi tidak dengan nada marah.

"Sori, sori."

Rama yang mendengar keributan kecil itu menoleh. Dia baru saja mendapat arahan dari sutradara. Melihat keributan kecil di meja dekat pintu. Tapi karena di sana kebetulan ada Sheila, dia belum juga mengalihkan pandangan. Dia mengikuti gerakan Sheila yang membantu memunguti botol-botol yang jatuh.

Dan satu benda yang berkilau mencuri seluruh perhatian Rama.

Otaknya mencoba memilah ingatan. Berusaha mengingat apakah benda yang sedang dia lihat sekarang memang sesuatu yang pernah dia berikan pada Sheila. Tapi sepertinya mustahil perempuan itu masih menyimpan barang-barang pemberiannya, yang layak masuk ke tempat sampah sejak lama.

Tepukan di bahu membuat Rama sadar. Dia kembali ke sutradara. Mengafirmasi diri sendiri jika Sheila tidak mungkin masih menyimpan apalagi sampai mengenakan cincin pemberiannya dulu. Rama tidak ingin berpikiran sejauh itu. Untuk saat ini, setelah mendengar percakapan semalam, Rama akan melangkah hati-hati. Dia tidak bisa sembarangan mengambil kesimpulan demi menyenangkan hatinya, yang sama saja dengan menunda luka di kemudian hari.

Sheila sudah melupakannya.

Namun, apakah Rama lantas harus menyerah sekarang?

***

Langkah Sheila terhenti begitu melihat siapa yang berdiri menyandar di dinding depan unit miliknya. Tanpa berpikir lama, Sheila menoleh tajam, menatap adiknya dengan laser. Yang ditatap langsung lari menghampiri Rama sebelum hangus terbakar di tempat.

"Mas Rama katanya nggak bisa malam ini."

"Acaranya cancel, jadi bisa mampir."

"Kamu sengaja ngundang dia?" Sheila mendekat dan menuding adiknya.

Rama menyelamatkan Dipa. "Kalian udah makan malam?"

"Udah!"

"Belum!"

Dijawab bersamaan dan Rama lebih memercayai jawaban Dipa.

Sheila mendecak dan mengeluarkan kartu akses, menempelkannya pada mesin detektor. Sementara Dipa dan Rama asyik sendiri, Sheila memilih masuk dan langsung ke kamar. Mengabaikan keberadaan dua lelaki yang semakin berisik. Memang sudah nasibnya memiliki adik lelaki, satu-satunya pula, yang tidak membenci lelaki yang sudah menyakiti kakaknya. Dasar adik lakna—Sheila segera menepuk mulutnya sendiri.

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang