Chapter 10

13.9K 2.1K 92
                                    

"Sheila? Ngapain ke sini?"

Sheila yang baru duduk beberapa saat langsung mengangkat wajahnya. "Gue nggak telat, 'kan?"

"Baim nggak ngabarin lo?" Andra juga bingung. Dia baru bangun dan begitu turun ke lantai satu, dia mendapati Sheila duduk di lobi kantor agensi.

Dengan cepat, Sheila merogoh ponsel di tas. Menyibak rambutnya. Dia belum membuka ponsel sejak dini hari tadi. Begitu bangun dia langsung membuatkan Dipa sarapan. Lantas bergegas. Dia pikir dirinya akan terlambat. Karena dia tidak suka menunggu, maka dia tidak ingin membuat orang lain menunggu.

Eh, tahunya. Mengembuskan napas. "Gue baru sempat buka chat-nya Baim."

"Rama sakit, Cel."

Seraya menyampirkan tali tas di bahu. "Semoga cepat sembuh."

Andra menaikkan satu alis. Segitu doang responsnya? "Kalau lo mau, gue kasih kartu akses ke unit dia."

Sheila menggeleng cepat.

"Yakin?"

"Kenapa gue mesti ke sana?"

"Ya udah kalau nggak mau." Andra tersenyum penuh makna.

Sheila sudah berdiri, siap pamit. "Sakit apa emangnya?"

"Demam."

"Udah minum obat kan dia?" Sheila cepat menambahi. "Maksudnya, kalau udah minum obat kan, sembuhnya cepet. Jadi jadwal besok pun nggak mundur lagi."

"Gue kasih kartu aksesnya, lo bisa pastiin sendiri."

"Gue bilang nggak ya nggak!"

Andra menggeleng, tertawa. "Kalian tuh gemesin tahu nggak. Yang satu mau maju, yang satu mundur terus."

"Nggak ada yang nyuruh dia buat maju." Sheila mematahkan kalimat Andra.

"Iya." Andra tersenyum lagi. "Makanya, jangan lupa suruh dia buat berhenti ya, Cel. Kalau untuk sekarang, biarin dia berjuang dulu. Siapa tahu kalian memang masih punya kesempatan."

"Kok lo jadi ngatur-ngatur hati gue?"

Andra segera sadar situasi dan menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Meminta maaf. Dia mungkin terlalu bersimpati dengan Rama, jadinya tanpa sadar ikut mendukung pilihan sahabatnya untuk memperjuangkan mantan-yang-tak-sampai.

***

Hanya dari suara langkahnya saja, Rama tahu siapa yang datang—karena hanya tiga orang yang memiliki kartu akses unit ini. Dia sudah bangun, hanya saja malas membuka mata. Hingga terasa sofa di sisinya sedikit melesak. Harum parfum khas Sandra semakin dekat.

"Aku tahu kamu udah bangun."

"Hm." Rama menggumam malas, membuka mata perlahan.

"Andra bilang kamu sakit." Sandra mengulurkan satu tangan, menempelkan punggung tangan di dahi Rama. "Mau aku panggilin dokter? Kamu susah soalnya disuruh ke RS."

"Cukup bangunin aku rumah sakit aja. Calon suamimu kan konglomerat."

Sandra menyingkirkan tangan dan berdiri. Melangkah ke dapur. Mengabaikan racauan Rama. Dia lebih memilih membongkar kotak makan yang dia bawa. Sebelum ke sini dia membuatkan bubur jagung.

"Andra kosongin jadwal kamu hari ini, 'kan?"

"Kayaknya iya."

"Kok kayaknya?"

"Aku belum pegang ponsel lagi."

"Nyari mati dia kalau kamu masih aja kerja."

Sementara Sandra sibuk memindahkan bubur, Rama beringsut bangun untuk mengecek ponsel. Pusingnya lumayan reda. Dia mungkin bisa kalau hanya syuting selama satu jam bersama Sheila. Tapi rentetan chat dari Andra sudah memberi jawaban.

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang