Chapter 21

12K 2.1K 155
                                    

Seminggu berlalu begitu cepat dan Sheila merasa sudah selesai dengan urusan hatinya-atau sebenarnya belum dan hanya dipaksakan selesai?

Mengumpulkan keberanian untuk datang ke tower ini, naik ke dalam lift, lantas berdiri di salah satu unit, tidaklah mudah. Butuh nyali besar untuk melakukannya, meski beberapa dari kalian menganggap hal ini sepele. Sungguh tidak sesepele itu bagi Sheila.

Tangannya yang memegang paperbag-berisi makanan sehat yang sempat terpikirkan olehnya di jalan tadi-bahkan berkeringat sejak turun dari mobil. Padahal lorong ini sangat dingin, tangannya bahkan semakin berkeringat.

Ayolah, dia tinggal mengangkat satu tangan dan menekan bel. Ini hal paling mudah untuk dilakukan, tapi mendadak jadi hal terberat yang harus dia lakukan saat ini. Pilihan untuk berbalik pulang menjadi yang termudah. Dia tidak bisa berdiri terus-menerus di depan pintu seperti orang bodoh yang gagal memahami fungsi bel. Baim akan tertawa jika ada di sini. Bobby mungkin akan berguling-guling sambil terbahak. Meira? Akan mengejeknya dengan sarkas.

Menghela napas berkali-kali, Sheila akhirnya mantap berbalik. Mau ditanya berkali-kali pun, dia belum siap menemui Rama. Tidak sekarang.

Atau sebenarnya, tidak pernah ada kata siap.

Sheila masuk ke mobil, mengacak rambut. Dia benci dirinya yang bingung mengambil tindakan. Semua kacau. Mulai dari pekerjaan, hati, hidup. Apa lagi yang tersisa?

Menyalakan mesin mobil, Sheila meninggalkan parkiran. Panggilan dari Baim masuk setelah mobilnya bergabung di jalan raya.

"Gimana?"

"Apanya?"

"Gue di apartemen lo, dan lo nggak ada. Bukannya sekarang lo udah ketemu Rama?"

"Belum. Gue balik lagi."

"Kenapa gituuu? Lo nggak menghargai usaha gue yang udah cari informasi unit dia."

"Gue belum siap ketemu."

"Apa susahnya?"

"Susah, Baim yang disayang Allah! Lo nggak tahu rasanya!"

"Iya, iya, sori. Gue tungguin di kafe lobi ya."

"Gue mau mampir ke tempat lain. Lo mending pulang."

"Mau cari jembatan?!"

Sheila memutus panggilan sebelum dirinya hilang sabar. Dia kemudian fokus menyetir. Sengaja membuka separuh jendela, membuat rambutnya sesekali menutupi pandangan. Disibak ke belakang telinga, terkena angin lagi. Tapi dia butuh angin untuk sekadar menjernihkan pikiran. Bohong soal pulang dari Surabaya dirinya akan membaik. Sama saja. Seminggu ini malah lebih buruk. Berdamai dengan hati? Bullshit! Sheila hanya lari dari hati kecilnya yang tidak tahu diri.

Mobilnya menepi di bangunan dua lantai. Suara sirine palang kereta menggema ketika Sheila keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu. Tersenyum pada pemilik kafe dan menyebutkan pesanan-yang masih tetap sama sejak dulu-lalu melangkah ke tangga ketika derak kereta terdengar lebih jelas.

Seiring dengan suara kereta, Sheila mematung di anak tangga terakhir. Mengutuk di dalam hati saat melihat siapa yang duduk di antara bangku kosong. Takdir lagi-lagi membuat lelucon dengan hidupnya.

Ketika meninggalkan apartemen Rama, dia tidak terlintas untuk mendatangi tempat ini. Dia hanya ingin pulang dan melupakan kekonyolannya yang berniat menghampiri Rama. Tapi entah bagaimana, dia justru berakhir di tempat ini. Hebatnya lagi, orang yang hendak dia temui, sudah duduk di sini.

Sheila melangkah. Mengarah ke bangku yang berbeda. Mereka duduk saling berpunggungan. Lebih mudah seperti ini. Karena Sheila tidak mungkin tiba-tiba lari, hanya akan membuatnya terlihat kekanakan.

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang