Menjadi anak perempuan pertama dan satu - satunya adalah hal sulit bagi orang - orang yang mengalaminya. Apalagi, jika mereka harus menjadi tulang punggung keluarga di waktu yang seharusnya menjadi tempat menikmati masa muda. Di saat teman - teman seumurannya akan sibuk berbelanja di mall atau sekedar nongkrong di kafe, ia harus belajar menghemat pengeluarannya dan sibuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Hal itu terjadi pada Sea, gadis berumur 22 tahun yang sudah ditinggal sang Ayah sejak remaja karena sakit. Awalnya keluarga mereka baik - baik saja, Arya— Ayah Sea adalah seorang pegawai kantoran biasa. Sementara Yuma— Ibu Sea, ia membuka toko kue. Selama belasan tahun hidup menjadi anak tunggal, Sea akhirnya dikaruniai seorang adik lelaki yang sangat imut. Namanya Riki. Keluarga mereka begitu bahagia saat itu, namun tak berselang lama, penyakit infeksi saluran pernapasan mengenai Arya. Saat itu ekonomi keluarga menurun sehingga mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil. Belum lagi, Riki baru memasuki usia bertumbuh dan Sea yang harus melanjutkan jenjang sekolahnya. Yuma bekerja mati - matian sekaligus mengurus Arya yang sudah tidak mampu beraktivitas.
Sea sedari dulu bukan gadis lemah yang akan menangis melihat sang Ayah terbaring lemah di ranjang. Ia selalu membantu Yuma dalam bekerja. Ia membuat kue, mengantarkan kue pesanan, bahkan menjadi tukang cuci piring di restoran makan. Saat itu, ia pikir segala kerja keras ia dan Ibunya akan terbayar dengan kesembuhan Arya. Berbanding terbalik, Arya meninggal di hari Sea mendapat hasil rapor nya. Ia yang tak pernah menangis karena terjatuh dari sepeda sekalipun, akhirnya meneteskan air matanya saat itu juga. Ditinggal oleh sosok Ayah yang sangat pengertian dan baik hati bukanlah hal yang mudah baginya, apalagi keadaan Yuma yang begitu kacau setelahnya. Wanita itu mengalami depresi sehingga Sea harus mengurus Riki yang masih bayi seorang diri.
Hidupnya begitu berat saat itu. Sahabat satu - satunya yang ia punya pun tidak ada di sana ketika Sea rapuh. Ya, Briana. Tidak, Sea tidak pernah menyalahkan Briana atas kepergiannya dan membuat Sea menjadi orang yang kesepian. Sea bukan orang yang dengan gampang membaur. Apalagi ia harus dihadapkan dengan kesibukan yang remaja lain jarang rasakan, yaitu bekerja. Tapi baginya, itu bukan hal yang memalukan dan menyedihkan. Toh, ia melakukan ini untuk keluarganya. Untuk sang Ibu, dan sang Adik.
"Se, ada kelas tambahan gak hari ini?"
Sea terlonjak saat seseorang merangkul bahunya dari belakang. Saat ini, ia sedang duduk di kantin sendirian. Namun tiba - tiba sahabatnya itu datang dan membuyarkan isi lamunannya. Ia menggeleng. "Gak, kenapa?"
"Gapapa, aku cuma mau ngajak kamu main ke rumah. Udah lama banget kan kamu gak ketemu orang tuaku, jadi sekalian aja sekarang. Gimana?" Tawar Briana.
"Um, sebenernya aku udah ketemu Ayah kamu pas di rumah sakit tempat Mas Joshua kerja. Tempat kerja ayah kamu juga kan ya gak salah?"
Briana mengangguk antusias. "Tapi kan cuma Ayah. Bunda aku kan kamu belum ketemu. Ya ya ya, please?"
"Sama Arzan juga?"
"Gak lah! Dia tadi katanya mau main sama temen dia yang beda kampus itu. Siapa tuh?"
"Lucas sama Mark."
"Nah itu. Eh, yang namanya Lucas itu cakep juga ya," kata Briana cengengesan.
"Minta kenalin lah sama Arzan, kan temennya."
Tangan Jiha menggaruk kepalanya yang tak gatal, "jangan dong. Ntar Arzan marah."
"Kok marah?" Tanya Sea bingung. Pasalnya, Arzan bukan orang yang gampang marah kecuali orang yang ia sayang di—
"Aku pacaran sama dia, Se. Maaf baru kasi tau."
—ganggu.
"Pantas," ucap Sea tak heran. "Aku temen kalian apa bukan sih? Jadian kok diem - diem?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluos ✔
Romancemel·lif·lu·ous (adj) • (of a voice or words) sweet or musical; pleasant to hear. • Sea tak sengaja bertemu dengan seorang pria tampan di kafe tempat ia bekerja. Ia pikir hanya akan sekali saja bertemu dengan pria menawan yang memilki suara selembut...