28 ; Broken

835 124 7
                                    

Tap the playlist to make you feel this part.

***

Mata Sea terbuka saat merasa ada seseorang yang mengguncang bahunya pelan. Ia melenguh, lalu menatap ke arah 'sang pengguncang'. Beberapa detik ia terdiam bingung melihat rumah yang tak asing di depannya karena rasanya tadi ia masih berada di parkiran rumah sakit. Namun akhirnya ia tersadar mengapa ia ada di dalam mobil milik bosnya, Theo.

Lelaki itu lah yang tadi membalut tubuhnya dengan jaket, bahkan memeluknya di lobi rumah sakit saat ia menangis keras hingga membuat beberapa orang di sana memandanginya heran. Theo lalu merangkulnya menuju mobil dengan hati - hati. Selama hampir dua puluh menit Sea menangis di mobil yang tidak berjalan kemana pun, Theo tidak berbicara apa - apa. Ia hanya diam sembari menepuk pundak Sea pelan dengan tujuan membuat tangisan perempuan itu mereda.

Tapi bukannya mereda, tangisannya justru semakin kuat. Dadanya terasa sesak. Ia baru saja merasa dicintai dan lelaki itu harus pergi meninggalkannya— ralat. Bukan hanya sekedar meninggalkannya, namun juga menikah dengan sahabat perempuan satu - satunya yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini jika wanita itu bukanlah Briana, tapi kenyataan menghantamnya begitu kuat. Briana adalah orang yang nanti akan menemani dan ditemani Joshua, bukan orang lain ataupun Sea.

Ucapan Yoana dan Rendy— orang tua Briana, seolah - olah menusuk hatinya ketika ingatan itu terlintas. Sea tidak pernah membenci kekurangan di dalam dirinya, namun entah mengapa kali ini rasanya Sea seakan ingin sekali hilang karena terlalu benci dan terlalu malu dengan statusnya yang hanya seorang gadis biasa. Ia sebelumnya tidak pernah ingin dilahirkan kembali, tapi sekarang jika bisa, ia ingin meminta itu pada Tuhan sekalipun ia harus mati.

"Sampai kapan lo mau nangis?" Tanya Theo yang diabaikan oleh Sea. Gadis itu masih berkutat dengan pikirannya dan membuat Theo menghela nafas. "Nangis gak bikin masalah lo selesai."

"Setidaknya dengan nangis, aku bisa lebih lega." Jawab Sea langsung.

"Lega sebentar, habis itu kalau keinget lo nangis lagi."

"Bisa gak berhenti ngomong dulu? Aku lagi nangis loh," protes Sea pada Theo.

Theo mendecak. "Kan gue udah bilang, apa - apa tuh diomongin dulu. Gak usah pake—"

"Apalagi sih yang mau diomongin?!" Kesal Sea. "Aku denger sendiri Mas Joshua mau nikah. Dan orang yang bakal dia nikahin itu sahabatku! Coba bayangin— ah iya, Kak Theo kan gak pernah ngerasain, jadi gak tau rasanya gimana."

Mendengar ucapan Sea, Theo diam. Ia menatap halaman rumahnya lurus. "Gue pernah kok, dan gue tau rasanya." Kata Theo yang lalu membuat Sea terdiam. "Gue denger kata dia waktu itu kalau dia mau nikah sama temen gue. Tapi gue masih bersikeras buat tau apa sebenarnya yang terjadi sampai pacar gue sendiri mau nikah sama temen gue. Lo tau dia bilang apa? Dia nikah karena emang saling suka— even gue pacar dia waktu itu. Dan gue milih buat terima, bohong banget kalau gue bilang gue gak sakit hati. Tapi gue bisa apa? Dia bukan buat gue, Se. Mau sekeras apapun lo berjuang buat bahagiain seseorang, kalau memang dia bukan takdir lo, lo gak bisa apa - apa."

Tangisan Sea kembali menjadi. Padahal, tadi tangisnya sudah mereda. Rasanya sesak saja mendengar kalimat terakhir dari mulut Theo. Ia tau, ia belum begitu membahagiakan Joshua. Tapi lelaki itu, adalah lelaki kedua setelah Ayahnya yang mau dan sanggup membahagiakannya. Bagaimana Sea bisa segampang itu merelakannya?

"Kalau gue jadi lo, gue bakal temuin Joshua dan Briana buat nanya kenapa mereka harus diam - diam akan menikah, nyembunyiin ini dari lo dan buat lo sesakit hati ini. Karena gue orangnya gak tahan harus diem dan gak nanya alasan kenapa hal itu bisa terjadi. Gak tau kalau lo." Ucap Theo. Ia melepas seatbelt-nya lalu menghadapkan tubuhnya ke Sea. "Jadi, mau turun atau gak?"

Mellifluos ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang