Sepuluh

911 170 9
                                    

“Bagaimana mobilmu?” Kim Jongsoo, ayah Lalisa, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Di hadapannya, Lalisa sedang memandangi keramaian pesta dari salah satu sudut kedai sambil memegang gelas berisi soda. Sejak kecil, Lalisa lebih dekat dengan ayah dibanding ibu. Mereka berbagi sifat, kebiasaan, dan hobi yang sama membuat Lalisa kerap menempel pada sang ayah bahkan sampai ia beranjak dewasa. Contohnya di acara-acara keluarga seperti sekarang, Lalisa jauh lebih memilih mengobrol dengan ayahnya daripada mendengarkan ibunya berceloteh kesana kemari.

“Besok sudah bisa diambil. Aku pikir masalahnya sepele, tapi ternyata butuh waktu lama untuk memperbaikinya.” Jawab Lalisa.

Jongsoo mengusap bahu putrinya tersebut. “Maafkan aku belum mampu membelikan kalian mobil yang memadai. Apalagi kau, Lisa, sejak kecil selalu mendapat barang bekas para kakakmu.”

Lalisa mengernyitkan dahi. Ia memfokuskan pandangan pada sang ayah. “Ayah, sudahlah, aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Pada waktunya aku akan bisa menghasilkan uang yang cukup untuk membeli kebutuhanku sendiri. Sebaliknya, aku sudah memikirkan hal ini. Karena sekarang aku, Jisoo, dan Jennie telah punya pekerjaan tetap, aku ingin kau mempercepat pensiunmu.” Kata Lalisa menatap ayahnya lekat. Jongsoo hendak menyela, tapi Lalisa melanjutkan. “Aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini, tapi apa kau sadar? Kami bahkan jarang melihatmu di rumah karena kau masih saja mengambil kerja lembur.”

“Lisa sayang,” Jongsoo tersenyum penuh arti pada Lalisa. Kepalanya menggeleng tidak habis pikir mengapa putri terkecilnya begitu cepat tumbuh menjadi perempuan dewasa yang mengagumkan. “Ya, baiklah, kau benar, kita akan melanjutkan obrolan ini nanti. Aku berjanji akan mengurangi pulang terlalu larut.”

Senyum cerah terbit di wajah Lalisa. “Memang seharusnya begitu.”

Pandangan Jongsoo teralihkan kepada sesuatu di balik bahu Lalisa. “Bukankah itu bosmu, Lisa?” Tanyanya membuat Lalisa ikut berbalik. Beberapa meter dari mereka, Sehun berdiri sambil menunduk memainkan ponsel. Satu tangannya dimasukkan ke kantong celana sementara raut mukanya terlihat begitu serius.

“Panggilah dia ke sini.” Perintah Jongsoo. Secara kebetulan, Sehun berbalik. Lalisa dapat melihat ekspresi terkejut di wajahnya namun pria itu segera memulihkan diri. Ia berjalan mendekati Lalisa dan sang ayah.

“Halo.” Sapa Jongsoo tersenyum ramah pada Sehun sembari melirik Lalisa untuk segera memperkenalkan mereka.

Lalisa melirik Sehun dengan hati-hati. Entah mengapa hatinya terasa janggal menghadapi pertemuan ini. “Sehun, ini ayahku.” Lalisa menunjuk ayahnya dengan canggung. Sehun ikut melirik Lalisa sekilas sebelum tersenyum sopan pada Jongsoo.

Kedua pria itu segera bersalaman. “Senang bertemu dengan anda, Tuan…?” Tanya Sehun tak yakin.

“Jongsoo, Kim Jongsoo.” Jawab Ayah Lalisa lalu tertawa. “Suatu kebanggaan bisa bertemu denganmu, Tuan Sehun.”

“Oh tolong panggil aku Sehun saja,” Sehun tertawa kecil, ekspresi yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah Lalisa lihat. Lalisa menyadari mata Sehun akan semakin menyipit membentuk garis tipis setiap ia tertawa. Wanita itu menyayangkan mengapa wajah tampan seperti itu dimiliki oleh seseorang yang begitu dingin. “Kuharap aku tidak mengganggu kalian?”

“Tentu tidak. Aku hanya sedang berbincang sebentar dengan putriku.” Balas Jongsoo sambil terkekeh. “Lalu kau sendiri? Mengapa hanya berdiri di sana tadi?”

Sehun terlihat tidak siap dengan pertanyaan itu. Mungkin ia punya urusan penting di telepon tadi atau mungkin ia sendiri juga sama seperti Lalisa, hanya berusaha menghindar dari keramaian. Lalisa tidak mau Sehun repot-repot memberi alasan maka Lalisa berniat menimpali. “Sehun punya banyak urusan, Ayah. Lagipula ia juga tidak terlalu suka suasana ramai, iya ‘kan?” Lalisa memberi Sehun cengiran lebar. Sehun memandangnya lekat tapi tak merespon apapun selain mengangguk.

Pride and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang