Di Senin pagi Lalisa telah disibukkan dengan jadwal meetingnya dengan salah satu penulis andalan perusahaan—yang mana berarti penulis tersebut telah menerbitkan banyak buku best seller lewat Oh Publishing. Lalisa mendapatkan informasi itu dari Choi Jiwoo, salah satu atasannya di bidang editing. Lalisa tahu penulis tersebut sejak lama dan mengakui bahwa karya-karyanya saat ini memang sedang ramai di pasaran meski Lalisa belum pernah membaca satupun bukunya. Pagi ini adalah pertama kalinya Lalisa bertemu dengan sang penulis dan wanita itu lega mengetahui mereka dapat saling memberikan kesan baik. Penulis yang mau saling mendengarkan dan tidak menyebalkan adalah salah satu anugerah yang harus disyukuri bagi para editor.
Lalisa mengetukan jari di laptopnya yang masih menganggur. Saat ini ia terduduk di kursi meja meeting bersama rekan kerjanya yang lain sambil menunggu arahan dari atasan. Dalam tim editing sendiri terdiri dari beberapa orang, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan hanya satu di antaranya yang laki-laki.
Wendy menyikut Lalisa pelan ketika atasan mereka, Jiwoo, kembali duduk di antara mereka setelah sebelumnya mengantar si penulis keluar. Lalisa buru-buru menegapkan duduknya. Pagi ini ia harus melawan rasa kantuk akibat harus melatih dan pulang larut kemarin malam. Sambil berusaha agar tetap fokus menahan diri untuk tidak kabur ke pantry dan menyeduh secangkir kopi, Lalisa akhirnya berhasil bertahan sampai rapat tersebut selesai.
“Astaga, aku mengantuk sekali.” Lalisa menguap lebar, tak lupa menutup mulutnya. Hanya ia dan Wendy yang masih duduk di sana.
“Kau ini, jangan sampai kau kerja sembari mengantuk seperti itu. Pekerjaanmu bisa berantakan.” Tegur Wendy sambil sibuk mengetikan sesuatu di laptopnya. “Sial sekali, seharusnya aku sudah bisa menikmati cuti musim panasku saat ini.” Gerutunya dengan raut wajah jengkel.
“Tenanglah, liburan dimulai awal Agustus, ‘kan? Tunggu saja beberapa hari lagi.” Sahut Lalisa.
“Bukan itu masalahnya. Aku jadi terpaksa memundurkan rencana musim panasku dengan teman-teman.” Wendy merengut. Lalu ia menoleh pada Lalisa yang duduk tepat di sebelahnya. “Seharusnya kita mendapat jatah libur seperti pegawai pada umumnya, tapi karena kebijakan baru Sehun kita tetap harus bekerja di awal musim panas.”
Lalisa mengangkat kepala mendengar hal tersebut, merasa tertarik dengan informasi yang baru saja ia dapatkan tapi tetap tidak memberi respon apapun selain hanya mengangguk mengerti. Mereka berdua bangkit berdiri untuk sama-sama menuju pantry.
“Omong-omong, aku sudah jarang melihat bos kita di kantor. Kasihan sekali, di umur semuda itu seharusnya dia masih menikmati hidup. Berkencan, travelling atau apalah bukannya malah bolak-balik keluar kota karena sibuk kerja.” Wendy menggelengkan kepala dengan raut wajah dramatis.
Lalisa terkekeh geli. “Kau benar.” Sahutnya tepat ketika kopi yang ia buat telah jadi. Wanita dengan rambut hitam tergerai itu menunggu Wendy selesai dengan urusan kopi sambil menelungkupkan wajah di atas meja pantry.
Wendy tergelak melihat Lalisa yang kembali menguap lebar. “Kau ini mengantuk atau teler sih?”
Suara dehaman seseorang dari arah pintu dapur membuat mereka berdua sontak menoleh dengan cepat. Mata Lalisa membulat. Ia segera menegapkan badan melihat sosok Sehun yang sudah berdiri di depan pintu.
“Selamat pagi, Tuan Oh. Kau butuh sesuatu?” Tanya Wendy sambil tersenyum ramah.
Mata Sehun memandang kedua wanita di hadapannya dengan tatapan yang seperti biasa tidak pernah dapat ditebak. “Apa ada yang melihat Sooyoung?” Sehun bertanya balik.“Aku belum melihatnya sejak tadi, mungkin dia terlambat masuk.” Jawab Wendy yang kemudian beralih pada Lalisa. “Kau melihat Sooyoung masuk pagi ini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pride and Prejudice
FanfictionSometimes the last person on earth you want to be with, is the one person you can not live without.