Dua Belas

911 153 11
                                    

Sehun menggenggam stir mobilnya dengan kuat. Berkali-kali pria itu berusaha mengatur napasnya yang tercekat. Di sebelahnya, Yeri menatap Sehun dengan khawatir. Ia sudah menduga kakaknya itu akan marah karena ia telah berbohong, tapi melihat wajah Sehun begitu mengeras menahan emosi membuatnya bertanya-tanya apa yang mengganggu kakaknya saat ini.

Yeri mengalihkan pandangan ke arah jalanan, menunggu emosi Sehun mereda hingga sekiranya ia akan membuka mulut untuk mengatakan apa yang terjadi, tapi bahkan sepuluh menit telah berlalu dan Sehun masih juga bungkam.

"Kakak," Yeri menyentuh lengan Sehun sementara pria itu masih fokus menyetir. "Ada apa?" Tanya Yeri dengan hati-hati.

Sehun tidak menjawab bahkan tidak juga menoleh. Jadi Yeri kembali menatap ke jalanan sambil menyandarkan tubuh di jok dengan pikiran tidak tentu hingga akhirnya mereka telah sampai di basement parkir apartemen. Sehun bergegas keluar dari mobil, menunggu Yeri ikut keluar kemudian langsung masuk ke dalam gedung, tidak menghiraukan sang adik yang berusaha mengikuti langkahnya yang cepat.

Yeri menahan Sehun yang hendak masuk kamar ketika mereka telah berada di dalam apartemen. "Katakan padaku apa yang terjadi." Pinta Yeri.

Sehun melirik adiknya sebentar lalu menghela napas. "Aku minta kau membatalkan acaramu dan berhenti berlatih di studio itu."

Ucapan Sehun bagai petir besar yang menyambar Yeri. Gadis itu ternganga tidak percaya mendengar ucapan kakaknya. "Apa?" Ia menggeleng kuat. "Kak, kau tahu kalau aku–aku telah berlatih berminggu-minggu hanya untuk pertunjukan ini!"

"Aku akan mencarikanmu studio balet lain yang lebih bagus daripada itu." Kata Sehun dengan pandangan ke arah tembok, tidak berani melihat wajah kecewa adiknya.

"Kenapa? Semua ini pasti ada alasannya. Katakan padaku, ada apa?" Yeri memegang bahu Sehun seraya berusaha menatap mata pria itu.

"Aku berusaha melindungimu, Yeri, turuti saja apa kataku."

"Tidak." Yeri melangkah mundur dan menatap Sehun dramatis. "Kau tidak bisa tiba-tiba melarangku melakukan ini itu tanpa alasan yang jelas. Kau tahu aku telah punya banyak teman di sana dan acara ini juga akan menjadi yang terakhir sebelum aku mendaftar kuliah nanti." Suara Yeri bergetar. Ia menoleh ke belakang demi mencegah air matanya jatuh.

Sehun, masih dengan ekspresi datar, berdiri memunggungi Yeri. Ia menarik napas dalam-dalam. "Kau akan mengerti kalau kau tahu apa yang terjadi." Gumamnya sangat pelan yang tentu saja hanya dapat didengar dirinya sendiri. Kemudian ia berbalik. "Aku setuju dengan saran Bibi Heesun. Kau sebaiknya melanjutkan kuliah di luar negeri. Terserah padamu di negara mana, aku akan menyiapkan semua kebutuhanmu di sana."

Air mata Yeri semakin mengalir deras. Gadis itu menatap kakaknya tidak percaya sekaligus heran.

"Kau benar-benar egois. Aku ini sudah besar, Sehun! Kau tidak bisa mengatur hidupku dengan berlebihan seperti ini." Seru Yeri. "Katakan apa masalahnya."

Sehun kembali menghela napas. Ia menggeleng. "Kau tidak perlu tahu. Percayalah padaku, aku hanya berniat melindungimu."

"Aku tidak mau."

"Yeri.." Sehun berusaha menggapai lengan Yeri tapi tentu saja gadis itu langsung menepis. "Kau telah melewati banyak hal buruk selama ini, apa kau tidak pernah berpikir untuk memulai hidup baru di tempat lain?"

"Apa kau lelah mengurusku?"

Sehun mengernyit. Ia belum sempat merespon karena Yeri sudah kembali berkata lirih, "Jujur saja, apa kau merasa terbebani mengurusku? Apa selama ini aku hanya merepotkanmu?"

"Jangan berlebihan, hanya kau yang aku punya sekarang. Aku tidak mau kehilanganmu."

"Lalu apa alasanmu menyuruhku berhenti?" Yeri mendesak.

Pride and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang