Dua

1.3K 204 2
                                    

Di pagi hari Chanyeol menemukan Soojung dan Sehun yang sedang sarapan dalam diam sementara beberapa pelayan sibuk membereskan sisa pesta semalam. Pada hari biasa, pelayan mereka tidak sebanyak yang ada sekarang. Chanyeol sengaja menyewa lebih banyak pelayan hanya jika ia sedang mengadakan acara saja.

"Selamat pagi." Sapa Chanyeol sembari menempatkan bokongnya di kursi meja makan.

"Berhasil memimpikan gadismu semalam?" Soojung melirik sang kakak sekilas. Tangannya terampil mengoles selai ke atas rotinya.

"Dia bahkan sedang bersantai di pikiranku saat ini." Chanyeol menyengir lebar. "Bagaimana menurut kalian soal Roseanne?"

"Well," Soojung mendelik. Ia sendiri masih tidak habis pikir dengan kakaknya yang begitu mudah jatuh cinta. "Dia memang gadis yang manis. Tapi kau tidak berniat untuk serius dengannya 'kan?"

"Memang apa salahnya jika aku berniat serius?"

Jawaban Chanyeol mengundang tatapan mata sekilas dari Sehun, namun laki-laki itu segera kembali fokus pada sarapannya.

"Chanyeol, kau tidak lihat bagaimana para saudarinya? Oh astaga, salah satu kakaknya rela putus sekolah hanya demi menjadi model. Lalu si bungsu, Lalisa itu, aku sudah lihat bagaimana ia menari dengan tak senonoh lalu dengan bangga memamerkannya ke sosial media. Aku tidak dapat membayangkan keluarga kita punya hubungan dengan keluarga semacam itu." Kata Soojung sambil meringis. Ia menoleh pada Sehun. "Sehun pasti juga sependapat denganku soal ini."

Sehun mendongak. Ia memandang kedua kakak beradik itu sejenak dan memutuskan untuk tetap diam.

Chanyeol mengernyit tidak suka mendengar apa yang diucapkan adiknya. "Kau keterlaluan. Itu hak mereka untuk berbuat apapun yang mereka mau. Dan soal Lalisa, ia memang seorang penari, wajar saja bila ia kerap membagikan konten tariannya ke sosial media."

Soojung menutup mulut. Ia ingin kembali membantah, tapi melihat ekspresi datar Chanyeol-yang mana sangat jarang ditampilkan membuatnya enggan untuk berkata apa-apa lagi. Maka ia pun menengok ke arah Sehun.

"Kau sudah memutuskan rencana liburan musim panasmu, Sehun?"

Sehun menggeleng. Laki-laki itu meneguk air putihnya lalu menjawab, "Mungkin aku akan mengajak Yeri untuk pulang ke rumah orangtua kami, tapi itu tergantung keputusan Yeri."

Senyuman menghiasi wajah Soojung. "Benarkah? Ah, aku sangat mengagumi rumahmu itu. Bagaimana dengan Yeri? Apa dia baik-baik saja? Aku tidak sabar ingin segera bertemu dengannya lagi. Ajaklah dia kemari, Sehun."

Sehun menghela napas pendek mendengar serentetan kata demi kata yang keluar dari mulut Soojung. "Ia baik-baik saja. Aku akan mengajaknya ke sini kapan-kapan."

"Apa Yeri masih suka balet? Nah, Chanyeol, kau seharusnya memilih gadis seperti Yeri. Dia gadis yang manis dan berpengetahuan tinggi. Sayang sekali dia masih terlalu muda untukmu."

Sehun hampir tersedak mendengar ucapan Soojung. Terkadang Soojung bisa menjadi sangat berlebihan jika sudah memuji hal yang berkaitan dengan Sehun. Sehun tidak bodoh, ia tahu Soojung sedang mencari perhatiannya. Tapi Sehun sama sekali tidak tertarik. Hanya ada dua fokus utama Sehun saat ini; Adiknya-Yeri, dan perusahaan peninggalan orangtua mereka.

-

Lalisa bersandar di kursi goyang milik ayahnya. Sembari memberi lem pada sol sepatunya yang rusak, ia menceritakan kejadian di pesta dua hari lalu pada Sorn, temannya yang kebetulan sedang mampir.

"Dia bilang aku sebegitu desperate-nya hingga rela menunggu kakakku datang ke pesta semacam itu. Bukankah itu sama saja dia meremehkan pesta yang diadakan temannya sendiri? Aku tidak habis pikir kenapa orang selembut Chanyeol bisa berteman dengannya."

Roseanne yang baru saja kembali dari dapur mendelik pada adiknya sambil menaruh dua cangkir teh untuk Sorn dan Lalisa. "Chanyeol dan Sehun sudah berteman sejak kuliah. Aku percaya Chanyeol tidak akan sembarangan memilih teman. Lagipula sepertinya Sehun itu tipe orang yang pemalu dan sulit berbaur."

Lalisa memutar bola mata. Ia memandang Sorn yang sedang menatapnya balik dengan senyum geli terpasang di wajahnya.

"Dia beruntung kau hanya menatapnya, Lis. Aku penasaran akan jadi seperti apa bila kemarin kau menegurnya dengan mulutmu yang tajam itu." Komentar Sorn dihadiahi gelengan kepala dari Rosie dan senyum miring dari Lalisa.

"Mereka berdua sangat bertolak belakang. Chanyeol bagai anak anjing yang ceria sedangkan temannya itu seperti anjing penjaga yang kesepian." Gumam Lalisa.

"Kurasa dia memang kesepian. Orangtuanya meninggal akibat kecelakaan empat tahun yang lalu. Mereka meninggalkan Sehun dengan seorang adik yang masih remaja dan sebuah perusahaan yang harus ia tanggung di usia semuda itu."

Penjelasan dari Rosie mampu melunakkan pandangan Lalisa ke Sehun, meski hanya sedikit. Menurut Lalisa, dengan kekayaan dan rupa seperti itu, Sehun bisa saja memperoleh teman dari kalangan manapun. Tapi melihat sifat sombong dan gengsinya yang tinggi, tidak heran bila hanya Chanyeol yang mau berteman dengannya.

"Tetap saja itu bukan alasan baginya untuk bersikap seperti seorang bajingan."

Roseanne menghela napas. "Sudah cukup topik tentangnya. Lebih baik sekarang kau mulai cari kerja tetap agar bisa membeli sepatu baru."

Lalisa melempar sepatu yang sedari tadi ia berusaha perbaiki. Sia-sia saja karena sepatu tersebut memang sudah butuh pengganti baru. Lalisa menggeram kesal.

"Aku sudah mengirim banyak lamaran untuk lowongan kerja di musim panas ini, tapi belum ada kabar sama sekali."

Sorn menimpali, "Kau tahu sendiri di musim panas tidak banyak perusahaan yang menerima karyawan baru. Kenapa kau tidak membuka kelas menari saja? Kau bilang guru tarimu sudah mempercayakan semuanya padamu."

"Tidak semudah itu." Lalisa menghela napas secara kasar sembari memijat tulang hidungnya. "Sepertinya malam ini aku harus mengirim lamaran lebih banyak lagi."

Bila boleh jujur, ide mengajar tari untuk anak-anak baru di studio tarinya terdengar menyenangkan bagi Lalisa. Namun fakta bahwa ia tumbuh di keluarga dengan keadaan ekonomi yang tidak begitu bagus membuatnya sadar diri. Ayah Lalisa adalah seorang chef yang bekerja di salah satu hotel bintang empat. Menjadi chef saja tidak cukup untuk menghidupi seorang istri dan empat orang anak perempuan. Jisoo Kim, anak pertama mereka, baru saja memulai kerja menjadi dosen sementara di salah satu universitas di kota Busan kemarin setelah menganggur hampir setahun. Lalu Jennie Kim, memutuskan untuk keluar dari sekolah demi melanjutkan karir modelingnya. Hal itu dilakukan agar dapat membantu kebutuhan keluarga mereka. Kemudian ada Roseanne Kim yang masih harus menyelesaikan studi kedokterannya hingga tahun depan dan Lalisa Kim yang tidak punya bakat apapun selain menari.

Menari telah menjadi hobi Lalisa sejak ia kecil. Kelenturan dan kepiawaian tubuhnya saat menari semakin berkembang seiring dengan banyaknya pertunjukan dan lomba yang ia ikuti. Lalisa tahu ibunya tidak menyetujui semua hal yang berkaitan dengan tari karena menurutnya hal itu hanya buang-buang uang. Lalisa pun tidak pernah mengeluhkan hal tersebut. Ia tidak masalah jika harus mengalah karena menurutnya, mimpi ketiga kakaknya lah yang lebih pantas untuk diperjuangkan.

Itu sebabnya bahkan ketika prestasinya di bidang tari sudah semakin dikenal, Lalisa tetap menjadikan tari hanya sebagai hobi. Maka Lalisa pun menggali kemampuannya di bidang lain. Dengan kecerdasannya, ia berhasil lulus di jurusan Sastra Inggris di Seoul National University dan kini bekerja secara freelance selama satu setengah tahun.

"Astaga!" Rosie menutup mulut membaca pesan masuk di ponselnya.

"Ada apa?"

"Soojung mengundangku pergi berbelanja bersama besok."

Lalisa terkekeh melihat respon Rosie. "Good for you. Apa kau akan membawa mobil? Karena aku harus ke studio besok."

"Kurasa aku akan menumpang padamu saja. Kau bisa menjemputku nanti."

Lalisa berpikir sebentar. Tapi kemudian ia mengangguk. Tatapannya berpindah ke arah Sorn. "Aku rasa aku harus bersiap membeli gaun."

Sorn tertawa. Ia tahu maksud temannya yang satu itu. "Kenapa?"

"Karena sepertinya salah satu putri Kim akan menikah sebentar lagi."

Mereka berdua tergelak sementara Rosie mencebikkan bibirnya dengan wajah merah padam menahan malu.

Pride and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang