Sebelas

895 162 23
                                    

Sehun terduduk di bangku menghadap ke jendela besar dari lantai sebelas gedung apartemennya. Tangannya terlipat di atas meja sementara tatapannya menerawang jauh ke luar jendela, mengabaikan laptop di hadapannya yang menyala. Di beberapa waktu di sela kesibukannya, Sehun akan mendadak terdiam. Ia akan menarik napas panjang guna menenangkan dirinya yang seringkali merasa tercekik. Pikirannya penuh oleh hal-hal yang menurutnya tidak seharusnya ia tanggung di umurnya yang bahkan belum menginjak kepala tiga.

Sejak kecil, Sehun bangga akan status sosial dan kedudukannya di masyarakat. Ia menyukai betapa orang-orang menjunjung dan menghormati keluarganya dan tidak ada seorang pun berani menyenggol mereka. Tapi setelah kecelakaan beberapa tahun lalu merenggut nyawa Ayah dan Ibu-nya sekaligus, semua tidak lagi sama baginya.

Dalam satu malam, Sehun berubah dari seorang anak laki-laki yang baru saja selesai mengenyam pendidikan menjadi seorang ayah, ibu, kakak, sekaligus pengurus perusahaan di waktu yang sama. Sehun tidak punya waktu untuk sekadar mengeluh. Ia belajar menjadi seorang yang cekatan, tegas, serta tetap menjaga sisi lembut dalam dirinya demi sang adik.

Benar, Sehun tidak pernah mengeluh. Tapi bagaimanapun, jauh di dalam dirinya, di beberapa waktu ia hanya ingin tidur di pelukan sang ibu. Sehun hanya ingin meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya lalu memejamkan mata, berharap ibunya tahu kalau ia tidak sedang baik-baik saja. Berharap ibunya tetap hidup karena Sehun benci ditinggalkan.

Sehun tidak bisa dan tidak boleh cengeng. Ia juga tidak boleh takut ataupun sakit karena siapa yang akan menjaga Yeri jika dia sendiri lemah? Apalagi dengan keadaan adiknya saat ini yang tengah berusaha memulihkan diri dari berbagai peristiwa buruk di masa lalu.

Mendadak pria itu mengingat Lalisa.

Mata hitam yang berbinar cerah, senyum menarik, serta semua hal yang tidak terduga darinya.

Sehun bertanya-tanya bagaimana rasanya berada di dekat wanita itu setiap hari. Ia mulai semakin konyol karena ia bahkan merasa iri dengan teman Lalisa yang dapat bersama Lalisa sesering mungkin. Ia cemburu dengan bayangan mengenai laki-laki dari masa lalu maupun masa depan Lalisa kelak. Ia juga cemburu dengan siapapun laki-laki yang dekat dengan wanita itu saat ini meski Sehun tahu ia tidak punya hak akan hal itu.

Suara bel tiba-tiba berbunyi. Sehun mengecek jam dinding yang telah menunjukan pukul delapan malam sebelum bangkit dan berjalan ke arah pintu. Wajah Chanyeol yang pertama dilihatnya setelah pintu terbuka. Sehun pun hanya membiarkan Chanyeol masuk tanpa berkata apapun.

“Aku membawa beberapa makanan untukmu, aku tahu kau malas makan jika tidak ada siapapun.” Kata pria bertubuh sangat tinggi itu sembari menaruh beberapa bungkus makanan di atas meja makan.

Thanks. Soojung tidak ikut?” Tanya Sehun yang kini sibuk membereskan laptop dan sisa pekerjaannya.

Chanyeol tertawa menggoda. “Kau merindukan adikku, ya?” Godanya membuat Sehun memberi lirikan tajam. “Kau lupa hari ini Jumat malam? Dia tentu sedang pergi keluar.”

Sehun mengangguk-angguk. Ia duduk di bangku bar di depan meja makannya sementara Chanyeol berdiri membantu menyiapkan makanan. Karena malam ini Yeri sedang menginap di rumah salah satu teman, Chanyeol seperti biasa berperan sebagai teman loyal bagi Sehun dengan membawakan makan malam untuknya.

“Biasanya kau bersama Roseanne tiap akhir pekan.” Celetuk Sehun sambil menuang air ke dalam gelas.

“Dia sedang sibuk seminggu ini.” Jawab Chanyeol. Setelah menyiapkan makanan, ia membawa piringnya dan duduk di sofa, mengabaikan perintah Sehun yang melarangnya untuk makan di atas sofa. “Oh iya!” Tiba-tiba Chanyeol berseru dengan semangat. “Aku pinjam laptopmu ya?”

Pride and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang