[9] Perlahan Membaik

3.1K 212 55
                                    


Kita bisa berkata 'tidak', tapi tanpa kita sadari tindakan kita mengatakan 'iya'. Karena pada dasarnya mulut itu memang pandai berdusta.

[ [9] Perlahan Membaik ]

*****


Sangat enak. Dua kata yang cocok untuk menggambarkan udang saus padang buatan Anya yang kini menjadi menu sarapan Devon dan juga Anya tentunya.

"Gimana, enak gak?"

Devon mengangguk singkat, meskipun sejujurnya dia ingin sekali memuji masakan sang istri, tapi entahlah lidahnya mendadak kelu.

"Mama bilang kamu suka sama menu ini makanya di hari pertama kita masuk kuliah lagi aku masakin ini biar kamu semangat."

Devon bisa melihat ketulusan yang terpancar dari mata Anya, tapi lagi dan lagi semua seakan tertutup karena pengkhianatan Anya dulu padanya.

"Nanti kita bikin list menu buat satu bulan ke depan ya? Biar makannya gak bosen," lanjut Anya.

"Emang gak ribet? Terus lo bisa masak semua makanan?" tanya Devon.

"Aku usahain, Dev. Lagian aku kan udah kursus masak dan ya kata mama aku cukup jago dalam hal memasak dan soal menu baru aku bisa tanya sama guru ku dulu atau liat tutorial di YouTube aja."

"Yaudah terserah."

Anya tersenyum tipis. "Semoga kamu bisa suka semua masakan ku, Dev."

Devon tidak menanggapi dan memilih sibuk dengan sarapannya pagi ini. Sampai akhirnya, sepuluh menit berlalu dan kini mereka bersiap untuk kembali menimba ilmu di kampus mereka masing-masing. Ya, kampus mereka memang beda, tetapi jaraknya tidak terlalu jauh.

"Gue denger lo lagi sibuk skripsi, itu bener?" tanya Devon memecah keheningan. Devon memang memutuskan untuk bersikap biasa saja pada Anya, terlebih perihal bicara, dia akan menjadi Devon yang suka bicara, meskipun terkadang masih ketus, tetapi setidaknya Devon mau berusaha berubah dan memperbaiki semuanya, meskipun dia belum yakin jika apa yang telah rusak ini bisa kembali diperbaiki.

Anya mengangguk. "Iya, bener kok. Waktu SMA aku ikut kelas akselerasi. Jadi, sekarang aku sibuk skripsi, satu tahun lebih cepat dari kamu."

"Lo udah sibuk skripsi, lo bisa masak, lo anak orang kaya. Kenapa mau sama gue?"

Anya langsung menoleh cepat ke arah Devon kemudian menatap Devon intens dan mengintimidasi. "Maksudnya gimana? Kok kamu nanya itu sih?"

"Dengan keadaan lo yang kaya, pinter, bisa masak. Semua orang mau sama lo, tapi kenapa lo milih gue? Terlebih keadaannya gue masih mahasiswa, gue masih pengangguran, Nya."

Anya mengembuskan napasnya. "Dev, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu dan aku sadar gak ada yang bisa mencintai aku setulus kamu. Aku gak mau kehilangan kamu lagi, Dev."

Alih-alih menjawab justru Devon menyodorkan selembar uang dengan nominal seratus ribu rupiah.

"Gue cuman bisa ngasih segini dulu, semoga lo bisa hemat dan kalau udah balik telpon gue biar hemat uang, itu buat lo makan siang aja dan gue harap lo cepat turun ini udah mau siang," ucap Devon.

Anya baru sadar jika mereka memang sudah sampai di kampusnya.

"Yaudah aku ngampus dulu," ujar Anya seraya meraih tangan Devon kemudian mengecup bagian punggung tangannya. "Kamu hati-hati nyetirnya. Assalamualaikum."

Pasutri Player [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang