Note author: Dear para silent readers. Aku sayang kalian deh, tapi bisa, kan? Bantu vote gitu. Ih pasti pada malu kucing yaa, takut ketahuan kalau kalian baca cerita aku makanya gak vote? Apaan sih. Oke. Lupakan. Gak penting.Skuy!
"Sekarang aku sadar. Pada detak ke sekian, kamu yang bergema di dalam sana. Kini aku tak perlu lagi mencari. Karena sejatinya, kamu sudah lama terpatri dalam ruang hati."
-seseorang dalam doanya-
Selamat membaca 💜
***
Malam menjelang. Merta merasa tubuhnya sudah lebih segar setelah tadi sempat tidur sebentar saat Nara makan martabak. Merta memang sengaja masuk kamar lebih awal. Selain karena ia harus menyelesaikan beberapa tugasnya, ia juga terfikir untuk menelepon Laras malam ini saja dan tentunya untuk menghindar dari Ayahnya. Entah kenapa ia merasa perlu menjaga jarak lebih dulu. Aryo seperti benar-benar tidak lagi mempedulikannya dan menganggap kehadiran Merta sebagai beban.
Jam dinding di kamarnya masih menunjukkan pukul 19.15 dan ia baru saja selesai melaksanakan sholat Isya. Sekarang ia duduk di meja belajar dengan menatap lurus ke cermin kecil yang ada di depannya. Merta termenung, untuk beberapa alasan ia merasa ragu untuk mengungkapkannya pada Laras.
Mengenyahkan segala kecamuk dalam batinnya, Merta memutuskan untuk mengerjakan PR-nya lebih dahulu.
Setelah menghabiskan waktu sekitar kurang lebih 45 menit, akhirnya segala tugas yang menumpuk pun kelar. Jam di ponsel sudah tepat pukul 20.00 oleh karena itu Merta memutuskan akan menelepon Laras.
"Halo Ta, kenapa nih. Tumben banget malam gini telfon gue," ledek Laras.
"Lo bisa gak sih jangan nyebelin," sela Merta. Ia bangkit dan berjalan menuju kasur. Duduk dalam waktu yang cukup lama membuatnya pegal.
Di seberang sana, Laras terkekeh. Ia yang sedang santai di balkon kamar itu kembali menyesap coklat panasnya. "Maaf Ta. Serius bener kayaknya lo. Ada masalah?" tanya Laras dengan nada lebih serius. Ia merapatkan baju tidurnya karena merasa dingin.
"Gue gak tahu sih ini masalah atau gak. Cuma gue mau cerita sesuatu aja sama lo."
"Ya udah si Ta. Kayak sama siapa aja. Kalau mau cerita, sok atuh, langsung aja," tawar Laras. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar tak lupa menutup jendela dan pintu.
"Tapi sebelumnya gue minta untuk sementara waktu lo rahasiain ini dari yang lain, ya," pinta Merta.
Laras terdiam sesaat. Ia mencoba menebak tentang apa Merta akan bercerita hingga ia harus menjaga rahasia? Laras tak berhasil menerka. "Iya siap. Lo tuh sahabat gue Ta. Jadi tenang aja, rahasia bakal aman."
"Gue tahu ini belum terlalu lama si Ras. Ibu gue yang ngasih tahu, dia juga yang ngasih gue petunjuk pertama. Gue udah sempat selidiki dan cari informasi dibantu sama seseorang. Dan tadi, gue nemu informasi baru," jelas Merta dengan suara getir.
"Bentar deh Ta. Ini yang lo omongin tuh tentang apa? Gue gak paham, lo kan tahu gue suka gagal konek. Yang lo maksud petunjuk itu apa? Informasi tentang apa?" desah Laras. Dia benar-benar pusing jika Merta tidak menjelaskan lebih detail.
"Gue bukan anak kandung."
Hening beberapa saat. Di ujung sana, Laras sukses membeku dalam beberapa detik. Dia masih mencoba mencerna 4 kata yang baru saja Merta ucapkan dalam tempo cepat.
"Ras, lo masih di sana kan?"
"Eh, astaghfirullah. Iya Ta. Gue masih di sini," sahut Laras tersadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan. [Tamat]
Romance"Aku lelah, ingin sekali rasanya menyerah. Hilang bagai debu yang tertiup angin petang, kemudian terlupakan." *** Selamat datang di dunia Amerta yang baru. Selamat berjatuh cinta, dan mengenal luka. Selamat bergabung dan semoga tidak berkabung. Teri...