Chapter 8.

93 44 57
                                    

"Hari ini aku masih percaya akan cinta. Selalu merindukannya hingga menutup mata. Tapi, aku takut akan kembali diambang kecewa. Aku belum siap jika harus kembali menelan luka."

Selamat membaca.

***

"Dia sudah besar, Bu. Kenapa masih saja ditunda? Lagipula cepat atau lambat dia juga akan tahu kebenarannya. Entah dari mulut kita sendiri atau dari orang lain."

"Ayah, tapi nanti hidup dia bagaimana? Kemana dia akan pergi? Di mana akan tinggal dan berteduh? Kasian lah, Yah. Lagipula ibu gak keberatan dia tetap tinggal bersama kita."

"Halah! Kamu ini bisa-bisanya saja. Pasti tidak rela, kan? Kalau dia yang biasa kamu suruh dan selalu patuh itu angkat kaki dari rumah saya!? Jujur saja kamu!"

Perempuan itu terbungkam. Apa yang suaminya katakan memang ada benarnya.

"Begini saja, kamu cari tahu tentang keluarganya dari nomor orang yang dulu masih kamu simpan. Siapa tahu anggota keluarganya masih ada, kita berikan saja pada mereka,"

"Kalau keluarganya masih ada, apalagi orangtuanya, lalu kenapa mereka tidak pernah mencari tahu selama ini?"

"Mungkin saja dia tidak diinginkan. Atau bahkan, sudah tidak lagi dianggap ada."

Perempuan itu hanya mampu terdiam, lagi. Ia bimbang, harus bagaimana menyampaikan kebenarannya. Ia masih belum siap.

Lagipula, sebenarnya ia tidak perlu bersusah payah memberi tahu anak angkatnya. Karena dia sudah tahu, mendengarnya langsung, dari balik pintu itu. Di malam yang sunyi.

***

Hari ini adalah saatnya melaksanakan upacara bendera. Petugas upacara kali ini adalah anak kelas X bahasa. Suara gaduh terdengar di mana-mana. Candaan, teriakan, hingga gerutuan mewarnai pagi yang cerah ceria. Langit berwarna indah dengan warna biru laut. Merta berdiri bersisian dengan Laras yang sedang memainkan topinya. Wajahnya murung, lesu, dan seperti sedang memikirkan sesuatu. Tadi pagi Merta sudah sempat bertanya, tapi hanya dijawab tidak apa-apa. Meski ia tahu, ada guratan lelah yang tercetak jelas di wajah ayu itu.

"Ras, lo udah sarapan belum?" Ia menempelkan satu telapak tangannya ke dahi Laras. Sedikit hangat. "Badan lo anget, mau gue izinin nggak? Daripada kenapa-napa nanti," tanya Merta khawatir. Biasanya ia tidak mendengar ocehan Laras barang sebentar saja sudah merasa khawatir apalagi sekarang anak itu justru berwajah pucat pasi.

"Gak papa Ta. Gue udah sarapan kok, tenang aja kali, ntar kalau gue pingsan tinggal gendong aja apa susahnya sih," imbuh Laras. Ia mengambil ponselnya yang ada di saku rok kemudian menunjukkannya pada Merta yang menatap bingung. "Gue mau liat cogan bentar, buat nambah vitamin semangat, hehe." Ia nyengir kemudian memilih sibuk dengan benda persegi itu sembari menunggu upacara dimulai.

Ponsel Merta bergetar, membuat perhatian yang sebelumnya penuh kepada Laras kini beralih.

Raja: Ta, hadap kiri terus lihat barisan yang sejajar sama kamu. Aku mau kasih kamu sesuatu.

Merta mengerjapkan matanya pelan. Tidak paham dengan apa yang Raja maksud. Tapi ia tetap mengikuti instruksi yang diarahkan. Ketika matanya menoleh, ia mencari-cari Raja yang notabennya lebih tinggi dari yang lain sehingga lebih mudah ditemukan. Letaknya tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 5m. Saat Merta mengangkat alisnya tanda bertanya, Raja tersenyum aneh. Kemudian ia memberikan Merta ciuman jauh menggunakan tangannya lalu ia tiupkan kearah Merta.

Beberapa siswa yang melihat itu tertawa, bahkan ada yang menyoraki girang. Merta hanya mampu terkekeh geli, merasa malu sekaligus tersipu. Ia menunduk kemudian mengetik sesuatu dilayar ponselnya.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang