Chapter 20.

39 13 42
                                    

"Dekap yang aku rindukan kini sudah bisa kurasakan. Tuhan, terima kasih. Bolehkah aku memeluknya untuk waktu yang lama? Aku merindukannya."

Selamat membaca 💜

***

Tadi malam kegiatan 'jalan-jalan' Merta lancar jaya. Mereka tidak sampai malam di tempat itu, selepas makan Merta memutuskan untuk pulang. Raja yang awalnya tidak rela akhirnya mengalah saja. Bukan tanpa alasan, ada banyak hal yang menunggu Merta di rumah. Ia tak boleh berlama-lama larut dalam hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Sesuai perkataan Raja semalam, pagi ini ia akan menjemput Merta. Entah karena memang Raja anak rajin atau terlalu bersemangat, dia sudah ada di depan rumah Merta. Nara yang sudah lama tak melihat Raja menjadi girang bukan main. Dia bahkan sibuk menceritakan hal-hal tak penting pada laki-laki bermata belo itu.

Merta hanya bisa geleng-geleng kepala saat tak sengaja mendengar perkataan Nara saat ia memakai sepatu. Gadis kecil itu cerewet sekali.

"Dek, sana masuk. Nanti dimarahin ibu lho, kamu kan belum mandi," tegur Merta. Ia menatap Nara yang sedang mencebik sebal. "Gak usah monyong gitu, gak akan bikin kamu tambah imut," sinis Merta.

Raja menyela, "Ta, gak boleh gitu. Gak baik lho, kasian Nara nya jadi sedih nanti!" Raja mengusap pelan kepala Nara yang rambutnya masih berantakan. "Sana masuk. Kak Raja udah mau berangkat ini," ujarnya.

Nara hanya mengangguk dan menyalimu tangan putih Raja. Ia kemudian berjalan gontai menuju pintu masuk, sebelum itu ia lebih dulu menatap kakaknya sebal. "Kak Merta jelek! Cantikan Nara ke mana-mana!" serunya tertawa. Ia berlari kencang masuk ke dalam rumah.

Merta hanya tersenyum miris. Adiknya sudah makin besar saja, makin tidak rela saja ia jika harus meninggalkannya. "Ayok Ja. Berangkat sekarang," tukas Merta. Ia berjalan lebih dulu, meninggalkan Raja yang pikirannya entah melayang ke mana.

Mereka menempuh perjalanan dengan obrolan ringan. Raja mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, lagipula ini masih pagi. Ia tak perlu terburu-buru.

Ketika sampai di parkiran, Merta menyadari tatapan bertanya dari orang-orang. Ia hanya mampu tersenyum canggung. Memang, mereka selalu saja ingin tahu. Pasti mereka langsung berpikir yang tidak-tidak karena melihat Merta dengan Raja.

"Udah sih. Gak usah dipikirin. Lagipula kalau misal kamu berangkat sama Rendi atau bahkan Dodi sekalian, gak ada larangannya kan? Apa salahnya sih, mereka sibuk banget mau tahu urusan orang," desis Raja. Ia memberikan tatapan penuh peringatan pada beberapa siswa yang masih memperhatikan mereka berdua. Ia kemudian menuntun Merta untuk segera ke kelas.

Di sepanjang koridor lantai satu, banyak adik kelas yang berbisik-bisik saat melihat mereka. Merta berjalan canggung sementara Raja menghela nafas lelah. Apa perlu mereka semua Raja beritahu tentang bahwa sangat tidak sopan memperhatikan orang lain dengan tatapan sampai mata mau keluar, apalagi melihat tautan tangan Raja dan Merta.

Untungnya saat sudah ke koridor lantai dua dan tiga suasananya sudah tidak terlalu ramai, beda dengan lantai satu.

"Ja, udah sampai sini aja. Mending kamu masuk kelas duluan." Merta melepas genggaman Raja di lengannya. Ia berniat ke kelas sendirian, lagipula jaraknya sudah dekat.

Namun Raja tak mau itu. Ia kembali mengekori langkah Merta. "Ta, ada yang kelupaan lho," celetuknya. Raja membuat Merta berhenti dan berbalik ke belakang, tepat di depan kelas XII IPA 1. "Sini maju dikit."

Merta menurut. Ia masih menatap penasaran pada Raja. "Apaan sih? Kamu gak usah bercanda mulu ya. Aku mau masuk kelas," protes Merta. "Ja yang bener, gak usah bisik-bisik," gerutu Merta, pasalnya Raja justru menggerakkan bibirnya seperti sedang mengatakan sesuatu.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang