" Semesta selalu memberiku bahagia meski harus lebih dulu merasakan luka. Semesta, bolehkah aku mengunjungi taman hatimu? Sekedar menengok, apakah betul masih ada aku di dalamnya."
Selamat membaca
***
Dengan langkah riang dan senyum yang terus terukir, Merta berjalan santai menuju kelasnya. Hari ini ia sudah kembali bersekolah karena badannya sudah terasa jauh lebih baik. Setelah sampai dilantai 3, di ujung tangga ia melihat Raja yang sedang berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pada tembok. Saat mata mereka bertubrukan, Raja menampilkan senyum secerah matahari dilengkapi dengan lambaian tangan riang.
"Selamat pagi tuan putri Rembulan, bagaimana kabarnya hari ini?" Sapa Raja dengan nada jahil. Ia mengikuti langkah Merta menuju kelas XII IPA 1. Meskipun Merta tidak menanggapi ocehannya, ia tetap berucap tanpa henti. "Ta, kamu udah sarapan belum? Kalau belum, nanti pingsan gimana? Kan aku juga yang repot, harus gendong kamu," terang Raja jail.
"Hilih, bilang aja seneng bukan repot," sindir Merta dengan tawa kecil. Ia berhenti tepat di depan pintu kelas, lalu membalikkan badannya dan berhadapan langsung dalam jarak satu meter. "Udah ya, Ja. Aku mau masuk kelas, sana gih, balik ke habitat kamu!" Jari telunjuk Merta mendorong pelan bahu Raja agar menjauh. Meski sebal karena diusir secara halus, tapi hati Raja berbunga karena sentuhan kecil Merta.
"Kasih say goodbye dulu, dong," pinta Raja manja.
"Udah ah, apaan sih, lebay." Setelah mengatakan itu Merta langsung masuk dan meninggalkan Raja yang tetap berdiri dengan senyum lebar.
Kedatangan Merta disambut tatapan curiga dari Laras yang duduk sambil memegang gawai. Laras langsung bertanya kenapa Raja bisa ada di depan, Merta hanya menanggapi santai dan mengatakan hanya kebetulan. Toh, kelas mereka juga bersebelahan. Merta paham, Laras dan Rendi memang sangat mendukung hubungan Merta dan Adam sekarang maupun nanti. Tapi lagi dan lagi Merta sadar, ia bukan siapa-siapa Adam. Tidak punya kedudukan dihatinya, atau mungkin tidak akan pernah. Entahlah, untuk saat ini Merta sedang tidak ingin mengurusi hatinya yang bimbang.
Laras sejak tadi duduk dengan tidak tenang. Ia gusar bukan main saat dihadapkan dengan rentetan angka tidak berujung di bukunya. Kepalanya serasa berasap, perutnya mual, dan pening menyerang tiba-tiba. "Ta, lo gak kenapa-napa lihat soal bejibun gitu?" Mata Laras menelisik jawaban Merta yang tidak kalah panjang tertulis di buku, lengkap dengan rumus dan caranya. Gadis itu menggeleng pelan untuk membungkam Laras yang berubah menjadi lebih cerewet dari biasanya. "Sumpah ya, Ta. Menurut lo, nyumpahin guru dosa gak, sih?" Ia menyangga kepalanya menggunakan satu tangan. "Kuping lo masih berfungsi dengan baik, kan, Ta?!" Laras tidak suka diabaikan. Ia mendengus kasar dan bangkit dari kursinya dengan kesal sehingga menimbulkan suara yang cukup keras. Dengan langkah cepat, ia mendekati meja guru kemudian mengatakan sesuatu pada guru dengan kepala botak di depannya. Setelah mendapat izin, ia bergegas menuju toilet.
Setelah selesai mencuci muka dan membasuh tangan, Laras berjalan santai menuju kelasnya kembali. Di tengah jalan ia justru berpapasan dengan Rendi yang dengan sengaja menghalangi jalannya.
"Ren, gue mau lewat," ujar Laras ketus.
"Silahkan, jalannya masih luas, kan?"
"Iya. Tapi badan lo ngehalangin gue Ren!"
"Bilang permisi dulu, dong."
"Permisi."
"Ketus banget. Gak ikhlas ya? Yang tulus napa. Gue contohin nih," Rendi membungkukkan badannya kemudian berujar tegas, "Wahai Rendi Dirgantara yang terhormat, izinkan saja tuan putri Laras Anjani lewat barang sebentar saja, gitu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan. [Tamat]
Romance"Aku lelah, ingin sekali rasanya menyerah. Hilang bagai debu yang tertiup angin petang, kemudian terlupakan." *** Selamat datang di dunia Amerta yang baru. Selamat berjatuh cinta, dan mengenal luka. Selamat bergabung dan semoga tidak berkabung. Teri...