Chapter 4.

171 67 270
                                    


"Kalau masih mampu untuk berjuang kenapa harus memilih tumbang. Kalau masih sayang, ya harusnya jangan dibuang."

Selamat membaca 💜

***

Angin berhembus tenang menerpa dua wajah yang sama-sama tampan itu. Mereka berdua berdiri dengan posisi yang hampir mirip. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abu-abu yang sudah agak kusut. Cuaca siang ini tidak terlalu terik, awan juga kebetulan berwarna biru terang. Sangat pas untuk dipandang dan dinikmati dengan waktu yang lama. Adam menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangannya kemudian memilih duduk disalah satu kursi yang ada di atas rooftop itu.

Ia duduk santai dengan menyilangkan kaki, lantas menatap Rendi yang masih berdiri dengan mulut terbungkam. "Sebenarnya apa yang mau lo omongin sama gue?" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Rendi masih saja enggan bersuara, ia bahkan terlihat tidak merubah posisinya sama sekali. "Ren, kita udah sahabatan lama banget. Dari jaman lo sama gue masih culun dan suka main di comberan. Jadi, lo nggak perlu sungkan kalau mau cerita sama gue, asal satu hal si. Jangan sampai lo tiba-tiba jujur kalau lo suka sama gue, kalau sampai iya, gue tendang lo! Gini-gini gue masih normal, kan sayang, ketampanan paripurna gue," ujar Adam berusaha mencairkan suasana.

Rendi menghela nafas lelah, ia membuka matanya yang sedari tadi terpejam. "Dam, salah nggak sih kalau gue mendem perasaan sendiri? Rasanya berat banget. Pengen nyerah, tapi gue nggak rela kalau dia sama orang lain," terang Rendi. Ia berbalik badan dan menatap Adam. Sementara yang ditatap terpaku beberapa saat.

Ia tidak menyangka jika Rendi yang petakilan dan rusuh itu akhirnya bisa galau gara-gara asmara. Sungguh keajaiban, Adam merasa menyesal. Harusnya tadi ia merekam pengakuan Rendi lalu mengabadikannya. "Bentar, emangnya lo suka sama siapa? Terus dari kapan? Kok lo tega banget sih! Nggak ngasih tahu gue yang menjabat sebagai sahabat lo dari zaman embrio!" Adam memang agak kesal, kenapa baru sekarang Rendi jujur padanya. Ia jadi agak merasa tidak pantas disebut sahabat.

Rendi mendekat dan mengambil sebuah kursi lalu ikut duduk di samping Adam yang menatapnya dengan ekspresi kesal bercampur penasaran. "Gue juga nggak tahu sejak kapan sebenarnya gue mulai suka sama dia. Orang-orang yang ngelihat interaksi langsung pasti bakal mikir kalau gue sama dia itu kayak minyak dan air. Tiap hari kerjaannya berantem, adu mulut, dan nggak pernah akur. Tapi gue nggak bisa bohong sama diri sendiri, gue suka sama Laras, Dam."

Mulut Adam sukses menganga. Fakta yang agak, mengejutkan? Iya, mana mungkin akan ada yang mengira kalau ternyata Rendi naksir Laras. Mungkin memang benar kata pepatah, dari benci jadi cinta. Tapi kan, Rendi dan Laras tidak saling membenci. Hanya saja, mereka memang lebih suka untuk tidak akur saat bersama. "Kenapa lo nggak ngomong sama Laras aja, atau paling nggak berhenti buat ribut terus sama dia. Lo harus mulai tunjukin kalau lo sayang sama dia," usul Adam. Meski dalam hati kecilnya ia tersentak. Bagaimana tidak, Adam saja tidak kunjung menyatakan perasaannya pada Amerta. Pengecut.

"Wajar nggak sih? Kalau misal nantinya Laras nggak percaya atau mungkin dia malah jadi ilfil sama gue?

"Kita nggak pernah tahu, Ren. Menurut gue, yang penting lo coba aja dulu. Batu karang yang keras aja lama-lama bakal terkikis karena terus menerus kena air laut."

"Oh iya, gue juga mau pesan satu hal sama lo, Dam. Gue tahu lo juga pasti sadar, kayaknya kali ini Raja serius. Usaha dia nggak main-main, sama kayak yang lo bilang barusan. Gue cuma nggak mau, Merta sampai balik ke pelukan Raja dan lo jadi pengecut. Nggak berani mengakui perasaan, itu bukan pilihan yang baik. Lebih baik lo mengambil langkah kecil tapi terus dan konsisten, daripada cuma terpaku di tempat dan nggak akan pernah maju barang selangkah pun." Nasehat yang diberikan Rendi sukses menampar Adam dengan telak. "Udah ya, gue mau ke bawah dulu, udah jam istirahat." Rendi berjalan menjauh meninggalkan Adam yang masih kehilangan nyawanya. Iya, Adam seperti baru saja terangkat dari mimpi panjangnya.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang