Chapter 23.

31 9 12
                                    


Hanin Dhiya - Kau Yang Sembunyi

"Jika aku dan kamu adalah kita, lantas tempat apa yang pantas untuk 'kita' yang sejujurnya tak pernah nyata?"

Selamat membaca 💜

***

Libur hari pertama. Langit hari ini tampak cerah. Matahari bersinar dengan penuh semangat. Menyambut jiwa-jiwa yang akan memulai hari. Suasana rumah Merta masih sepi. Gadis itu tengah sibuk menyapu mulai dari kamarnya hingga seluruh penjuru rumah. Nara yang biasanya asyik menempel pada tv belum terlihat, gadis kecil itu masih tenggelam dalam mimpi.

Dari arah dapur, terdengar suara Ibunya yang tengah memasak sarapan. Sementara ayah Merta sedang mandi untuk berangkat kerja.

Tak ada yang istimewa dengan kata 'libur' untuk Merta. Dia hanya akan diam di rumah lalu merasa kesepian. Sebuah rutinitas yang membosankan.

Sebenarnya beberapa hari sebelum ujian Laras sudah mengajak Merta agar ikut liburan bersama keluarganya, namun Merta menolak dengan alasan ingin lebih sering bersama Bundanya. Itu tak sepenuhnya salah, namun jujur Merta hanya merasa tak enak jika harus berada di tengah keluarga Laras.

Saat Merta tengah bersenandung kecil sembari terus menyapu, Nara membuka pintu kamar sambil mengucek matanya. Dia menguap lebar lalu menatap Merta lekat-lekat.

"Aduh princess baru bangun, ya," ledek Merta. Dia terus menyapu menuju ke luar pintu utama. "Tumben gak nonton Doraemon kamu dek," tanya Merta, dengan posisi membelakangi Nara.

Nara masih berdiri anteng. "Emangnya sekarang jam berapa kak?" Dia berjalan gontai menjauh, menuju arah berlawanan dengan Merta. Tak lama terdengar pekikan, "kak Merta! Kok gak bilang Nara kalau udah siang!? Nara jadi ketinggalan kartun!"

Merta tak mengindahkan protes Nara, dia hanya terkekeh kecil. Lagipula sekarang masih pagi, hanya saja memang biasanya Nara sudah duduk bagai patung di depan layar kotak itu.

Merta memeras satu persatu pakaian basah lalu menjemurnya di belakang rumah. Sekarang adalah saatnya menjemur pakaian. Di sini memang justru akan lebih banyak terkena panas matahari sehingga cepat kering dibandingkan depan rumah.

Cucian selalu banyak. Anggota keluarganya berjumlah empat orang, belum lagi seragam sekolah dan pakaian kerja ayahnya. Namun, karena sudah terbiasa maka semuanya menjadi biasa saja bagi Merta.

Nara datang berlari menuju Merta dengan ponsel di tangannya. "Kak Laras!" pekiknya, nafasnya ngos-ngosan. "Tinggal ngomong kak! Aku udah angkat," dengkus Nara. Kemudian gadis itu langsung berlari pergi kembali masuk ke dalam rumah.

Merta meload speaker panggilan dan meletakkan ponselnya di kursi yang letaknya tak jauh dari tempat ia menjemur.

"Merta!" jerit Laras. Suara pembuka di pagi hari yang membuat telinga Merta berdengung. "Lo masih tidur, ya?!" tuduh Laras, tanpa alasan.

Merta mencebik, "ngarang! Lo pikir gue Laras Anjani yang sukanya pacaran sama kasur kalau pagi?!" sinis Merta.

Di seberang sana Laras tertawa kencang. Ini adalah salah satu alasannya menelepon Merta, dirinya butuh tertawa.

"Ta sumpah lo nyesel banget nolak tawaran gue. Di sini pemandangannya bagus banget, gila!" seru Laras girang.

Merta menyerngit. "Lo udah sampai di Bogor? Cepet amat elah." Merta menoleh ke arah pintu, takut kena marah ibunya karena sudah bising di pagi hari.

Dia mendekati kursi lalu duduk dan menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Gimana? Seneng lo?"

"Lumayan lah Ta. Biar gue bisa refreshing bentar. Kasian otak gue, udah pas-pasan mana dipaksa mikir keras pas ujian kemarin. Untung gak jebol," kekeh Laras.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang