Chapter 7.

106 45 40
                                    

"Yang datang tidak selalu membawa senang. Begitupun yang pergi, tidak selalu meninggalkan tangis. Setiap pertemuan membawa arti masing-masing bagi penerimanya."

Selamat membaca 💜

***

Sudah satu Minggu berlalu sejak hari itu. Tapi, hubungan Adam dan Merta masih tetap sama. Dekat, hangat, saling peduli, namun bagai terombang-ambing di tengah lautan. Tidak kunjung nampak kearah mana akan berlabuh. Raja yang terus melancarkan berbagai pendekatan hingga akhirnya membuat hubungan mereka kembali baik-baik saja. Kembali tak berjarak dan memilih melupakan perpisahan pahit yang pernah mereka jalani bersama. Untuk saat ini, Merta hanya ingin menjalani semuanya dengan santai. Mengalir seperti air, tapi tetap saja, kemanapun ia mengalir akan tetap ada tujuan akhir, tempat ia berlabuh untuk terakhir kali.

Dua orang gadis yang berjalan beriringan sembari saling bergandeng tangan itu menyita perhatian siswa Starlight yang sedang berada di parkiran bahkan hingga aula sekolah. Bagaimana tidak, hari ini mereka terlihat seperti saudara kembar. Dengan rambut panjang sedang dibawah bahu, digerai, mengenakan bandana berwarna biru langit, dan menampilkan senyum cerah. Iya, sekarang panjang rambut mereka sudah sama. Menggemaskan sekali.

"Ras, emang penampilan kita hari ini aneh, ya? Kok pada ngeliatin nya kayak orang syok liat hantu sih," tanya Merta heran. Ia bingung kenapa orang-orang menatap mereka dengan banyak arti.

"Nggak, Ta! Mereka cuma kaget, kok pagi-pagi gini udah ada bidadari kembar ke sekolah," tutur Laras dengan tawa. Ia benar-benar bahagia pagi ini.

"Emang lo pikir kita lagi syuting video klip, apa?! Gini, kau bidadari jatuh dari surga tepat di hatiku, eaaa." Merta menyanyikan satu baris lirik dari salah satu boyband cilik yang sekarang sudah bubar.

"Tapi nih ya, Ta. Kata Bunda gue tuh, gue adalah bidadari yang cantiknya udah ada dari lahir," terang Laras dengan penuh percaya diri. Sekarang mereka sudah ada di lantai 3. Tangan Laras masih setia memegang tangan Merta.

"Iya in, kasian lah,"

"Ih, kok gitu sih,"

"Loh, kok gitu sih, la kok marah," suara Merta kembali terdengar setelah melepas tautan lengan mereka. Ia berlalu masuk dengan bersenandung kecil.

"Ren! Di tungguin sama bidadari lo tuh! Ada di depan, ngambek dia," ledek Merta. Sudah beberapa hari ini dia tahu jika Rendi menaruh rasa pada Laras lebih dari sekedar teman. Dan sejak itulah, dia tidak ada bosannya menggoda mereka berdua. Lucu saja, dua orang yang selalu bertengkar dan ribut setiap hari itu kini menjelma menjadi kucing dan majikan. Rendi berusaha menuruti apapun yang Laras minta, katanya, itu sebagai bentuk pendekatan paling efektif sekaligus pembuktian.

Rendi berjalan ke luar kelas bermaksud untuk menemui tuan putrinya. Merta meletakkan tas nya di kursi dan duduk menghadap belakang ke arah Adam yang sedang sibuk bermain game online. "Kamu udah sarapan?" Suara Adam memotong niat Merta yang bahkan belum sempat terucap. Dalam hati ia bersyukur, pagi-pagi begini sudah ada yang perhatian.

"Udah dong, kamu juga pasti udah kan?"

"Iya."

"Oh iya Dam, foto yang waktu itu udah kamu cetak belum? Yang ada akunya," tanya Merta. Ia memangku wajahnya menggunakan satu tangan.

Adam memberhentikan permainannya dan memilih untuk meletakkan ponselnya. "Mau kamu apain emangnya?"

"Minta,"

"Tumben,"

"Ga boleh?"

"Boleh kok,"

"Ya udah."

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang