Chapter 3.

253 97 456
                                    

"Mungkin aku memang sudah berhasil lepas, tapi kamu tidak akan pernah puas. Karena kamu tidak pernah sudi berada dalam lorong gelap itu seorang diri. Tolong, relakan aku dan jangan pernah lagi menjadi bayang-bayang ku."

Selamat membaca.

***

Merta menutup mulutnya ketika akan menguap, setelah itu ia bangkit dari kasur dan bersiap ke sekolah. Melangkahkan kakinya di ubin yang dingin, ia sesekali merenggangkan tulangnya yang terasa kaku setelah tidur dengan posisi tidak teratur. Saat tengah menuju kamar mandi, ia mendapati adiknya tengah duduk di depan televisi dengan boneka dipelukannya seperti biasa.

"Dek, kamu ini mata masih merem aja pakai acara nonton kartun segala," ucap Merta meledek. Pasalnya Nara menatap layar televisi dengan keadaan masih mengantuk, bahkan Merta tidak yakin jika adiknya sudah benar-benar bangun dari alam mimpi. Nara hanya menggumam samar kemudian tiba-tiba saja ambruk dan kembali tertidur. Melihat itu, Merta hanya mampu tertawa. Sungguh, hiburan di pagi hari.

"Nara mana? Kamu ajak mandi sekalian sana, ibu masih repot," ucap Jelita pada putrinya. Ia mengatakan itu tanpa menatap Merta.

"Nara nya tidur lagi, kasian Bu, masih pagi juga. Hari ini Merta harus berangkat pagi karena mau piket." Sudah paham betul jika ibunya pasti tidak akan menjawab, Merta langsung berlalu masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai bersiap, Merta bergabung dengan yang lain di meja makan. Ia mengambil piring kosong dan mulai mengambil nasi serta lauk. Sarapan adalah hal penting bagi Merta. Apalagi dia punya riwayat sakit lambung. Saat sedang khusyuk makan, pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya berhasil membuat nafsu makan Merta sirna.

"Merta, kapan kamu mau udahan jadi beban keluarga saya?" Aryo mengatakan itu tanpa berminat menatap Merta yang kini mengepalkan tangannya di bawah meja. "Nara sudah mulai besar. Biaya hidupnya juga akan semakin banyak, dan ya, harusnya kamu sadar posisi kamu di sini," lanjut Aryo. Kini ia meletakkan gelas yang sedari tadi ada di tangannya.

"Maaf, tapi aku nggak paham sama yang ayah maksud," aku Merta. Iya, meskipun selama ini dia sadar bahwa dia sebagai anak bayangan dan tidak diinginkan. Tapi selama belum ada ucapan yang keluar langsung dari mulut orangtuanya maka Merta tidak akan mengambil kesimpulan sendiri. "Merta sadar kok. Selama ini memang udah jadi beban ayah sama ibu. Cuma nyusahin dan bikin kalian repot, tapi bentar lagi Merta lulus kok. Setelah itu, kalian nggak perlu lagi untuk repot-repot membiayai hidup Merta. Bahkan kalau perlu, aku akan cari kerja hari ini juga, buat siap-siap."

"Jelita, apa kamu belum mengatakan apapun pada anak ini?" tanya Aryo pada istrinya. Ia mendecak pelan saat melihat gelengan Jelita. Merasa gerah, ia berniat membuka hal itu sendiri. "Kalau kamu nggak bisa ngomongnya sama Amerta, biar saya saja. Sekarang pun saya siap," ujar Aryo dingin.

Jelita memegang lengan suaminya, ia kemudian menoleh singkat ke arah Nara yang tengah asyik memakan paha ayam. Tidak tertarik dengan obrolan tiga orang dewasa di depannya. "Jangan, aku mohon, ya. Nara bisa dengar apa yang kita bicarakan, meskipun mungkin dia belum akan paham. Biar aku aja yang bilang sama Merta," bujuk Jelita.

Aryo berdiri hingga membuat genggaman istrinya terlepas. Ia berdehem singkat kemudian menunduk sebelum berujar pelan di samping kepala Merta, "ingat, kamu bukan siapa-siapa di sini. Pikirkan kalimat saya barusan dengan baik." Ia kemudian berlalu meninggalkan Merta yang masih mematung. Berusaha mencerna setiap kata dan kalimat yang masuk memenuhi rongga telinganya.

Saat berpamitan pada ibunya, Merta kembali teringat ucapan ayahnya saat sarapan tadi. Ia menimbang-nimbang sebentar, sebelum memutuskan untuk bertanya, "Bu, yang tadi ayah bilang itu maksudnya apa? Kenapa ibu ngga ngasih tahu aku? Apa ada sesuatu yang ayah dan ibu sembunyikan dari aku? Apa Bu?" Merta menatap ibunya dengan tatapan memohon. Tapi ibunya justru berpaling dan langsung masuk kembali ke rumah setelah Nara pergi lebih dulu. Merta hanya mampu menghela nafas lelah untuk yang kesekian kali. Hari masih pagi, tapi sudah terasa meletihkan sekali.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang