Chapter 9.

100 43 43
                                    

"Ada masa di mana kamu akan merasakan kehilangan setelah terlenakan. Saat detik itu tiba, kau tidak mampu mengulang waktu, atau hanya sekedar menggenggam tanganku."

Selamat membaca.

***

Merta mengikat tali sepatunya sembari duduk di teras rumah. Di sampingnya, Nara berceloteh panjang lebar tentang seorang anak laki-laki yang sering mengganggunya. Bocah itu sesekali memukul kecil tasnya saat merasa kesal karena teringat anak laki-laki itu.

"Terus, dia masih gangguin kamu?" tanya Merta. Ia duduk sambil menatap tanaman milik Ibunya yang tertata rapi di pot, sementara lainnya tumbuh merambat.

"Udah mulai jarang sih, kak. Soalnya aku lapor sama Bu Guru. Habisnya dia nakal, suka ganggu Nara," rajuk gadis kecil itu kesal. Ia merasa terganggu dengan sikap salah satu temannya di kelas.

"Nanti, kalau dia jail sama kamu lagi, bilang ke kakak, ya!"

"Siap kak!"

Tin! Tin!

Suara klakson motor sport berwarna merah itu menginterupsi keduanya. Di depan pagar, di atas motor itu, duduk seorang cowok dengan senyum cerah. Ia melambaikan tangan pada Merta dan juga Nara. Nara melonjak girang, ia berlari sambil meneriakkan nama Raja.

"Nara mau berangkat sekolah, ya?" tanya Raja lembut. Ia mengusap pelan kepala Nara yang menggunakan bandana warna pink itu.

"Heum, kak Raja mau jemput kak Merta, ya?"

"Betul sekali, gimana? Kak Merta-nya boleh kak Raja bawa, nggak?" Raja meringis pelan saat satu pukulan ringan mendarat di pundaknya, Merta mendelik tajam.

"Boleh kok kak. Udah ya, Nara pergi dulu, hati-hati ya, kak. Jangan sampai kesayangan Nara lecet!" Gadis kecil itu kemudian berlari sambil melambaikan tangannya kemudian menghilang di belokan. Letak sekolahnya memang sangat dekat.

"Yuk berangkat, atau mau berdiri aja di situ sampai lumutan?" Raja menghindari gerakan Merta yang kembali akan memukulnya. "Ta! Santai dong. Masih pagi lho, masa kamu tega mau aniaya aku?" Raja semakin mendramatisir keadaan. Membuat Merta berdecak dan dengan kasar merebut helm yang cowok itu sodorkan.

Mereka sampai di parkiran sekolah kemudian turun dari motor dan melepas helm. Merta yang hendak membernarkan poninya yang agak berantakan seketika terhenyak saat tangan Raja lebih dulu menyentuh rambutnya. Cowok itu membenarkan rambut Merta kemudian mengelusnya sayang. Nafas Merta tercekat. Meski sudah lama, tapi rasanya masih sama. Nyaman dan aman.

Raja memundurkan wajahnya kemudian menggandeng tangan Merta agar berjalan bersamanya. Merta hanya menurut dan mengikuti langkah Raja sambil sesekali mengobrol.

Dari kejauhan, seorang cowok dengan jaket yang membungkus tubuhnya itu memejam erat. Menahan sesak dan sesal yang tiba-tiba saja menyeruak dalam dirinya. Ia menahan teriakannya yang nyaris lepas. Menunduk menatap tanah yang tertutup daun kering kemudian tersenyum miris. Ia bergumam pelan pada dirinya sendiri, "mungkin ucapan Rendi ada benernya. Gue emang pengecut."

***

Kantin siang ini belum seriuh biasanya. Maklum, masih banyak yang belum masuk waktu istirahat. Dengan itu, membuat Laras dan Merta lebih leluasa untuk memesan makanan mereka.

Mereka datang ke meja yang di situ sudah ada tiga laki-laki yang sibuk dengan gawainya masing-masing. Laras mendudukkan dirinya di samping Rendi yang kini meletakkan ponselnya di meja. Sementara Merta duduk di samping Raja dan berhadapan langsung dengan Adam.

"Akhirnya datang juga. Perut gue udah disko dari tadi," girang Rendi. Ia langsung mengambil mangkuk berisi mie ayam bakso miliknya kemudian sibuk memasukkan pelengkap.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang