Chapter 12

76 35 37
                                    

"Bentang garis yang memisahkan nyata dan maya sering kali membuatku terlupa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bentang garis yang memisahkan nyata dan maya sering kali membuatku terlupa. Mungkin benar bahwa aku telah dibutakan cinta. Namun, tahukah kamu bahwa rasa tidak bisa aku musnahkan begitu saja."

-Rembulan-

Selamat membaca.

***

Tas kecil di punggung, kaos kaki pendek yang sudah melekat di kaki mungilnya, rambut sepunggungnya ia biarkan tergerai indah, dan jaket parka yang sudah membungkus tubuhnya dengan pas. Ia siap pergi pagi ini. Sambil menggenggam ponsel, ia berjalan menuju ruang makan. Menarik satu kursi lalu duduk di sana dengan tenang. Ia sudah mempersiapkan dirinya sejak jauh-jauh hari agar tidak perlu merasa canggung dan tetap bersikap baik-baik saja.

Ayahnya masih membaca koran sambil sesekali menyeruput kopi paginya. Tampaknya ia sudah selesai sarapan terlihat dari piring kotor yang berada di depannya. Merta mengambil piring dan mencentong sedikit nasi serta sayur dan tempe goreng. Ia tidak berniat sekedar menyapa ayahnya pagi ini. Ah, entahlah. Ia bahkan tidak yakin bahwa ia masih pantas untuk memanggil 'ayah'. Ia yakin, laki-laki paruh baya yang sedang mendorong kursinya dan berniat pergi itu sudah tahu semuanya. Pasti sang istri telah mengungkapkannya. Tidak apa, lagipula Merta juga ingin segera pergi dari rumah ini.

Nara datang ke meja makan dengan mata sayu dan rambut acak-acakan. Tampaknya gadis kecil itu baru saja bangun. Maklum, hari Minggu adalah hari yang amat menyenangkan untuk anak seusianya.

"Kakak mau ke mana? Kok udah rapih kayak mau kondangan," tanya Nara. Gadis itu juga mulai melakukan ritual sarapannya.

"Dek, kamu itu masih setengah tidur makanya nanyanya ngelantur. Kondangan mah pake batik atau kebaya, masa iya kondangan pakai jaket sama celana jeans," sahut Merta sinis. Ah, ia masih tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Nara nantinya saat masa itu tiba.

"Heum, tahu." Nara menjawab asal dan mulai makan dalam diam.

Merta menyelesaikan sarapan dengan cepat. Ia mengecek jam di ponsel, masih pukul 6.15 dan ia sudah bersiap pergi. Merta berjalan menuju luar rumah. Ia melihat ibunya yang nampak asyik dengan bunga dan tanaman peliharaannya.

"Bu, aku pergi dulu, ya," pamit Merta. Sang ibu hanya mengangguk dan menjawab samar. Tidak apa, setidaknya saat ini Merta masih harus menghormati ibunya itu.

Ponsel Merta bergetar tepat saat ia baru akan memegang pagar.

Adam: Ta, mau aku jemput di mana?

Merta: Gak usah jemput deh Dam. Kita langsung ketemu di tempatnya aja.

Setelah itu ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dan mulai berjalan pergi meninggalkan rumah. Sekarang ia memang merasa agak lebih bebas karena orangtuanya sudah tidak lagi mengaturnya atau membentaknya. Ia bisa mencari jalan itu sendiri dengan lebih cepat.

Serpihan. [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang