Prolog

143 78 69
                                    

Suasana outdor Vintage kafe begitu indah. Hiasan lampu berwarna merah kekuningan berbaris indah diatas membentang dari sudut ke sudut. Kursi dan Meja kayu berjejer rapi dan hampir terisi penuh oleh para pengunjung. Terlihat di sudut kafe sepasang kekasih sedang menikmati makan malamnya. Kedunya tampak serasi memakai baju putih, gadis berlesung pipi itupun terlihat cantik saat rambut sepunggungnya yang dibiarkan tergerai bebas dengan memakai jepitan rambut berwarna biru di samping kanan membuatnya semakin terlihat manis.

Lelaki itu menaruh sendok yang semula ditangan, dia menghentikan aktivitas makannya. Tangannya terulur menarik kedua tangan gadis di depannya, sontak gadis itupun ikut melepas sendok dan garfunya. Sorot mata mereka beradu, lelaki itu tersenyum tipis sebelum akhirnya ia berbicara.

"Happy aniversarry" ucapnya terdengar lembut. "Makasih untuk setahun ini ya," lanjutnya dengan lengkungan senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya. "Makasih udah sabar ngadepin sikap aku, udah mau bertahan sejauh ini. Makasih untuk semua hal yang udah kamu lakuin."

Begitupun dengan gadis dihadapannya yang terlihat bahagia. "Makasih juga Kak Gian selalu ada buat Ara." tutur gadis bernama lengkap Nara Deborra.

Giandra merogoh sesuatu dari balik sakunya. "Kakak punya sesuatu buat Ara" ungkap lelaki yang kerap dipanggil Kak Gian oleh kekasihnya.

Umur mereka terpaut tiga tahun, Giandra yang sudah menempuh pendidikan di Universitas sedangkan Nara masih berseragam putih abu semester akhir. Itu sebabnya Nara sering memanggilnya dengan sebutan kakak, meski sesekali memanggilnya dengan sebutan sayang juga.

Nara seketika gugup, "Ini apa?" tanyanya, saat Giandra Faresta menyodorkan sebuah kotak berwarna marun.

"Buka aja, buat Ara" ucap Giandra dengan tatapan masih tak berpaling menatap raut wajah Nara yang terlihat sangat cantik bercampur kebingungan dengan perlakuannya.

Perlahan Nara membuka kotak tersebut dengan eksperesi yang tak bisa diartikan. Matanya menatap Giandra dan kotak marun itu secara bergantian. Dia tak percaya ketika melihat isi dari kotak itu.
Bagaimana Nara tidak terkejut, isi dalam kotak tersebut ternyata sebuah cincin berwarna putih bertuliskan namanya yang didesain dengan sangat indah.

"Kak, ini beneran buat aku?" tanyanya masih tak percaya dengan apa yang diberikan kekasihnya. Giandra tersenyum sebagai jawaban.

"Ini bagus banget, Kak," lirihnya pelan.

"Jaga baik-baik ya." Giandra sedikit mengusap kepala gadis cantik berbadan mungil itu dengan penuh sayang.

♡♡♡

Mereka memasuki mobil dengan perasaan yang begitu bahagia. Mobil Giandra melaju dengan kecepatan rata-rata.

"Kak, jangan pernah tinggalin Ara, ya!" kata Nara memecahkan keheningan.

"Gak akan" jawab Giandra sambil menggenggam tangan kekasihnya itu. Namun tatapannya masih terfokus pada jalanan.

"Janji ya ... "

"Iya Ra," ucap Giandra yang lagi lagi mengacak gemas rambut gadis itu.

"Kak Gian sayang sama Ara" ungkapnya. Giandra sangat tulus mencintai seorang Nara Deborra. Dia tak pernah menuntut banyak hal padanya.

"Ara sayangnya pake banget sama Kak Gian."

"Kakak juga, sayang banget banget banget" sarkas Giandra. Keduanya tertawa lepas.

Kemudian mereka larut dalam keheningan masing-masing.

Tiba-tiba sebuah truk tak terkendali dengan kecepatan diatas rata-rata muncul dihadapan mereka.

Brakk...

♡♡♡

"Aaaaaaaaarrrgghhhhhhh!!" Nara berteriak histeris di kamarnya, bahkan teriakannya sempat terdengar oleh Andini, Mamanya yang sedang memasak di dapur.

Andini memasuki kamar putrinya dengan raut wajah khawatir.

"Mimpi itu lagi?" tanya sang mama. Dia tau betul bahwa anaknya masih belum bisa melupakan Giandra.

Nara mengangguk atas pertanyaan Mamanya.
Badannya berkeringat dingin, nafasnya pun memburu. Memory kala itu masih terekam jelas dalam pikirannya.
Ini bukan pertama kalinya dia bermimpi buruk seperti itu. Semenjak ia ditinggalkan pergi oleh Giandra untuk selama-lamanya, hampir setiap malam ia memimpikannya. Kehidupannya pun cukup berbeda drastis, Nara kini lebih banyak diam dan terlihat murung, seperti semangat hidupnya telah dipatahkan karena kehilangan Giandra.

"Kamu harus belajar lupain Kak Gian, dia sudah berbeda dunia dengan kita, biarkan dia tenang ya" ucap mamanya begitu lembut. Andini selalu berusaha menenangkan anaknya dan menghilangkan trauma itu dari pikirannya. Namun tentu itu tidak mudah.

"Ra, semuanya nggak ada yang abadi di dunia ini, Yang hadir nggak akan selamanya selalu bersama, akan ada saatnya untuk pergi. Karena yang datang ada untuk pergi, nak," Andini mendekapnya dari samping. Kepala Nara ia sandarkan pada bahunya. Tangan kanannya mengusap lembut kepala anak semata wayangnya.

"Ikhlasin Gian ya, kamu harus bahagia meski tanpa dia. Mama yakin Gian juga pasti bahagia lihat kamu bahagia." Andini berusaha memberikan senyum terbaiknya.

"Sekarang kamu siap-siap sekolah ya, Mama udah siapin sarapan buat kamu," lanjutnya sebelum keluar dari kamar. Nara hanya mengangguk menanggapinya.

Nara menghela nafas berat. Menggenggam cincin bertuliskan namanya tersebut. Rasanya sakit sekali ditinggal oleh orang yang begitu dia sayangi.

"Kenapa kakak harus pergi?"

♡GIVE ME VOTE OR COMMENT♡

~♥~
~♥~
~♥~
~♥~
~♥~

THANK YOU ALL

NARANAGA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang