01. Pergi

127K 5.3K 157
                                    

          Cerita baru lagi, nih. Oh, ya. Mungkin cerita Fat girl and bad Boy bakal lama up-nya.

                                 ****

"Lepaskan tangan saya!" Wanita dengan pakaian syar'i itu berusaha berontak dari laki-laki yang ada di hadapannya itu.

Laki-laki dengan seragam loreng itu menatap wanita di depannya dengan tatapan sendu. Dan seolah menyiratkan rasa kerinduan yang mendalam. Ada rasa harapan yang besar.

"Zahra, aku merindukanmu," lirihnya. Wanita yang dipanggil Zahra itu berdecih sembari menatap pria itu sinis.

Rasa cintanya telah berubah menjadi rasa benci. Kata rindu itu tidak mempan untuk membuatnya luluh. Hati lembutnya telah membatu. Wanita yang dulu sangat lembut dan tak pernah berkata kasar itu sekarang telah berubah. Tapi, dia masih punya etika dan hati nurani.

"Kembalilah," pintanya dengan wajah penuh harap. Lagi, lagi Zahra berdecih.

"Kembali kemana, Mas?" tanyanya dengan nada sinis.

Revan Danias, C. Begitulah tulisan di name tag yang terpampang di baju lorengnya. Tentara berpangkat letnan itu mulai melepaskan tangannya. Penyesalan yang begitu besar selalu menghantuinya.

"Aku tau, kamu tidak akan bisa memaafkan kesalahanku. Tapi, kumohon kembalilah, Zahra. Demi Meira, anak kita." Revan mulai memohon lagi.

"Kamu pikir, dengan membawa Meira, aku mau kembali lagi denganmu, begitu? Kamu salah besar, Mas! Luka itu sudah menganga lebar, dan takkan bisa sembuh." Zahra menatap mantan suaminya itu dengan tatapan kecewa.

Zahra mulai mengingat kejadian yang membuatnya sangat hancur itu. Kejadian delapan bulan yang lalu, dan masih terekam jelas di otaknya. Suami yang sangat dicintai berhianat dengan sahabatnya sendiri. Sungguh miris, bukan?

Flashback on.

"Amel, kayaknya Mas Revan bulan ini nggak pulang, deh. Keadaan disana masih genting, katanya." Wanita berusia 28 tahun itu menidurkan kepalanya di meja kerja.

"Kamu yang sabar, Ra. Punya suami tentara memang harus ekstra sabar," jawab wanita yang dipanggil Amel tersebut.

Zahra Amesya Putri Bagaskara. Wanita yang berprofesi sebagai dokter umum itu sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai satu anak perempuan yang sangat cantik. Memiliki suami seperti Revan sangat beruntung, menurutnya.

Revan sangat perhatian dan romantis. Mereka sudah berpacaran sejak SMA. Saat itu, Revan adalah Kakak kelas Zahra. Mereka dikenal sebagai pasangan yang sangat serasi dan tidak pernah ada berita buruk mengenai hubungan mereka.

"Ra, aku pulang dulu, ya," pamit Amel sembari memasukkan ponsel dan dompetnya di tas berwarna biru tua miliknya tersebut.

Ini memang sudah saatnya Amel pulang. Zahra tersenyum singkat. "Hati-hati di jalan. Ingat, kamu belum nikah!" ucap Zahra disertai kekehan.

"Iya-iya yang udah punya suami. Ra, lusa aku ditugaskan di Papua. Pamitnya sengaja sekarang karena besok aku nggak masuk, sibuk ngurusin pindahan," ucap Amel.

"Lho, sama dong sama Mas Revan. Apa satu kota, Mel?" tanya Zahra.

"Nggak tau, Ra."

***
Satu bulan telah berlalu .... Revan tak kunjung pulang dan tidak ada kabar. Zahra takut jika sesuatu terjadi pada suaminya. Apalagi, suaminya itu ditugaskan di daerah konflik. Sedangkan, putri cantiknya itu selalu merengek ingin bertemu dengan Papahnya.

"Meira, Papah pasti pulang, Sayang," ucap Zahra sembari menenangkan dan meyakinkan Meira.

Saat sedang memasak di dapur, tiba-tiba ponsel Zahra berdering. Ia segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas mengecek ponselnya. Siapa tau itu dari Revan--suami tercintanya.

Senyuman yang awalnya terbit di bibir Ibu anak satu itu memudar kala melihat notifikasi dari nomor yang tidak dikenal, bukan suaminya. Zahra membukanya, dan masih berharap itu adalah nomor baru suaminya.

Mata indah itu seketika mengembun saat baru saja membaca pesan dari nomor tidak dikenal tersebut. Tubuh ramping itu merosot ke lantai, isak tangisnya mulai terdengar.

"Kalian tega," lirih Zahra sembari menatap foto mesra suaminya bersama dengan sahabatnya. Apa masih pantas disebut sahabat? Sahabat yang menusuk dari belakang.

"Perempuan murahan," desis Zahra sembari mengepalkan tangannya.

"Sayang, aku pulang! Istriku! Meira!" Suara bariton itu terdengar memuakkan bagi Zahra. Hatinya hancur telah dihianati oleh suami dan sahabatnya sendiri.

"Hei, Sayang! Kenapa kamu menangis? Siapa yang buat kamu nangis? Bilang sama aku! Biar aku buat babak belur dia!" ucap Revan berapi-api.

Zahra menatap suaminya sinis. "Dia ada di depan saya," lirihnya. Tubuh Revan menegang saat mendengar istrinya berbicara sangat formal.

"Maksud kamu apa, Sayang?" tanya Revan seolah tidak terjadi apa-apa.

"Nih!" Sontak, Revan membulatkan matanya kala sang istri telah mengetahui rahasia busuknya terbongkar.

Pada saat itu, Zahra memutuskan untuk pergi dari rumah. Dengan tidak membawa Meira karena anaknya itu tidak mau berpisah dengan Papahnya. Sebulan kemudian, Zahra dan Revan sudah resmi bercerai. Sesekali, Zahra menengok Meira tanpa sepengetahuan Revan. Meira masih mau tinggal bersama dengan Revan. Hal itulah yang masih membuat Zahra menetap di Indonesia.

Zahra berencana untuk melanjutkan pendidikan S2-nya di Jerman. Tentunya dengan membawa Meira, namun tampaknya anak gadisnya itu masih butuh waktu. Dan Zahra masih setia menunggu.

Flashback off.

Revan masih menatap mantan istrinya itu dengan rasa bersalah. Ia sangat menyesal telah menghianati wanita sebaik Zahra demi Amel yang hanya memanfaatkannya untuk bisa dekat dengan temannya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Hati Zahra sudah membeku setelah kejadian itu.

"Mamah!" teriak seorang gadis berhasil memecahkan keheningan diantara mereka.

"Meira!" Zahra langsung berhambur memeluk anaknya yang mulai beranjak remaja itu.

"Aku mau sekolah di Jerman, Mamah," bisik Meira membuat hati Zahra lega.

Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya datang dengan membawa sebuah paspor. "Maaf, Mbak. Apa Mbak yang bernama Zahra Amesya Putri Bagaskara?" tanya laki-laki tersebut sembari menatap Zahra.

"Iya, saya sendiri. Ada apa, ya, Pak?" Zahra menatap laki-laki itu dengan penasaran.

"Ini, Mbak. Saya menemukan paspor milik Mbak di depan Cafe Star tadi," ucapnya sembari menyodorkan paspor itu.

"Makasih, Pak."

"Kalau begitu, saya pergi dulu." Zahra hanya mengangguk.

"Kamu mau kemana, Zahra?" tanya Revan sembari mengangkat sebelah alisnya.

"Itu bukan urusan kamu, Mas. Aku akan membawa Meira. Dia sendiri yang mau ikut sama aku," ucap Zahra sembari melenggang pergi.

Terdengar teriakan frustasi dari Revan. Dia tidak berhak menahan atau menghalangi kepergian Zahra. "Zahra! Kembalilah! Aku menyesal"


Jangan lupa vote and comment!
      

                 

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang