Happy Reading ❤️
Senyuman tak pernah luntur dari bibir Revan. Dari masih di rumah, sampai sekarang ia berada di Bandara, senyuman manisnya selalu terpancar. Kaum hawa yang melihatnya pun terpesona dengan ketampanan Revan.
Hari ini Zahra kembali ke Indonesia. Revan menjemput mereka dan sekarang ia sedang menunggu. Ya, yang menjadi alasan Revan tersenyum tanpa henti. Zahra dan Meira selalu menjadi alasannya untuk tersenyum. Just them.
Atensi Revan beralih, seketika matanya berbinar saat melihat seorang wanita bergamis berjalan sembari menggandeng tangan gadis kecil dengan menyeret koper besar.
"Zahra!" panggil Revan sedikit berteriak.
Zahra tersenyum tipis, sedangkan Meira tersenyum lebar. Gadis kecil itu melepaskan tangan mamahnya, lalu berlari ke arah papahnya.
"Papah!" seru Meira riang.
Revan mengangkat tubuh anaknya yang semakin tinggi itu. Revan agak keberatan, ternyata bukan hanya tinggi tubuhnya yang bertambah, berat badannya juga.
"Semakin berat anak Papah," kekeh Revan.
"Ih, Meira langsing tau!" rajuk Meira sembari mengerucutkan bibirnya.
Revan dan Zahra terkekeh mendengar. "Masa? Tapi, kok Papah keberatan, ya?" gurau Revan.
"Yaudah, turunin aja kalau berat! Papah nyebelin!" Meira meronta, hampir saja terjatuh, namun Zahra dengan sigap menahannya.
Sesaat mata mereka saling tatap. Rindu. Kata itu yang ada dibenak mereka. Zahra memalingkan wajahnya.
"Meira," tegur Zahra.
"Papah tu nyebelin!"
"Bercanda, Sayang. Seberat apapun Meira, Papah gak bakal berhenti gendong Meira. Kecuali ...."
"Apa?" tanya Meira penasaran. Zahra pun juga ikutan penasaran.
"Kecuali kalau kamu udah besar. Masa udah besar masih digendong sama Papah. Malu dong," ucap Revan membuat Meira semakin kesal.
"Mamah!" rengek Meira menatap Zahra.
"Udah-udah. Ayo, pulang. Mamah udah capek banget, nih," ujar Zahra.
Perdebatan itu akhirnya berhenti. Keluarga bahagia itu berjalan menuju parkiran. Keluarga bahagia? Apa masih bisa disebut keluarga jika status Zahra dan Revan saja tidak memiliki hubungan apapun. Entahlah. Semoga mereka bisa menjadi "keluarga bahagia" di kemudian hari.
Zahra yang semula cuek dan dingin pada Revan, kini sikapnya mulai menghangat. Terbukti saat Revan mengajak Zahra mengobrol.
"Jadi, butik itu kamu serahin ke Ansel? Mau kerja dimana? Di Rumah Sakit yang dulu?" tanya Revan.
"Iya, aku gak bisa kerja sekaligus ngurus butik, jadi aku kasih aja ke Ansel. Gak, Mas. Aku mau kerja di Rumah Sakit punya Zidan aja," jawab Zahra.
"Zidan? Temen kuliah kamu dulu itu?" Zahra mengangguk.
"Gak usah. Kamu kerja di Rumah Sakit deket restoran aku aja," ucap Revan datar.
"Lho, kenapa? Aku udah mengiyakan tawaran Zidan. Gak enak lah," balas Zahra.
"Aku gak mau aja kamu punya hutang budi sama dia. Entar dia malah menyalahgunakan kebaikannya ke kamu lagi."
"Menyalahgunakan gimana, sih? Aku gak ngerti deh," ucap Zahra bingung.
"Udahlah! Kamu nurut aja."
Zahra menatap Revan tak mengerti. Apa yang salah jika dirinya bekerja di Rumah Sakit milik Zidan? Menyalahgunakan kebaikan? Zahra sungguh tak mengerti.
***
Mengalah. Hanya itu yang bisa Zahra lakukan. Tak mau membuat perdebatannya dengan Revan semakin panjang. Tak enak hati saat menolak tawaran Zidan. Tapi, apa boleh buat?Revan kenal dengan pemilik Rumah Sakit deket restorannya tersebut, bahkan dirinya sudah bicara dan Zahra besok sudah bisa mulai bekerja. Pasrah saja. Daripada debat, nanti berujung pertengkaran yang akan membuat hubungannya dengan Revan kembali berjarak.
"Kamu mau dibawain apa?" tanya Revan.
Revan dan Meira akan pergi ke restoran milik Revan untuk makan siang. Zahra tidak ikut, wanita itu masih capek. Alhasil, dia nitip aja.
"Pecel lele," jawab Zahra singkat.
"Oke."
Setelah Revan dan Meira pergi, Zahra memutuskan untuk menonton televisi. Ia mengambil cemilan dan minuman untuk menemaninya menonton sinetron.
Tok ...! Tok ...! Tok ...!
Dahi Zahra mengernyit. Siapa yang bertamu? Tidak mungkin kalau Revan dan Meira. Mereka akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Siap---"
"Amel?"
"Hai, mantan istrinya Mas Revan," sapa Amel sok ramah.
"Ngapain kamu kesini?" tanya Zahra sinis.
"Gakpapa. Gue cuma mau lihat, gimana keadaannya mantan istrinya Mas Revan."
"Baik-baik aja ternyata. Gue kira hidup lu nelangsa," imbuh Amel.
Zahra naik pitam. "PERGI DARI RUMAH GUE. SEKARANG!"
"Jangan marah dong."
"Jangan deketin Mas Revan lagi. Dia milik gue!" desis Amel sebelum meninggalkan rumah Zahra.
***
Jangan lupa vote and comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
EX HUSBAND (END)
Non-FictionPernikahan yang sudah dibina selama hampir sepuluh tahun itu kandas karena hadirnya orang ketiga. Zahra tidak pernah menyangka bahwa pelakor yang merusak rumah tangganya itu adalah sahabatnya sendiri. Revan merasa sangat menyesal dan merasa kehilan...