40. Perubahan Zahra

30.7K 1.3K 17
                                    

Happy Reading ❤️

Perbuatan Aron kemarin sudah tidak bisa Zahra terima. Hubungannya dengan pria itu merenggang. Kini dia hanya fokus dengan Meira dan karirnya. Revan juga jarang muncul. Revan hanya menemui Meira. Itupun di sekolahnya. Sepertinya, pria itu memang menjauh darinya. Tapi, bukankah itu bagus? Revan tidak lagi memaksanya untuk rujuk.

"Kisah percintaanmu begitu pelik, Nak. Setelah ini, apa rencana kamu?" Suara tegas Pak Fadli terdengar.

Zahra hanya tersenyum tipis menanggapinya. Dia juga tidak tau kenapa kisah percintaannya begini. Tapi, dia bersyukur karena Allah menjauhkannya dari pria tidak baik seperti Aron.

"Pasrah ajalah, Pa. Zahra gak mau nikah lagi," jawabnya.

"Keputusan ada di tangan kamu. Papa gak mau ikut campur."

Pak Fadli berdiri seraya menyeret sebuah koper. "Negara memanggil Papa lagi. Papa ditugaskan menjaga perbatasan selama enam bulan. Jaga diri kamu dan Meira baik-baik. Nanti Papa akan menyuruh Revan menjaga kalian," tambahnya.

Revan lagi. Kadang Zahra heran dengan papanya plin-plan jika menyangkut tentang Revan. Dapat dilihat, jika papanya itu sebenarnya memang masih menginginkan Revan untuk menjadi menantunya. Tapi, Zahra tidak bisa memenuhi keinginan papanya tersebut.

"Kenapa harus Revan?" tanya Zahra lirih.

"Revan mantan prajurit. Papa lebih percaya sama dia," jawabnya.

"Ya sudah, Papa berangkat. Revan akan tidur di paviliun mulai malam ini. Jangan bertengkar di depan Meira. Selesaikan masalah kalian dengan kepala dingin. Karena pertengkaran orangtua bisa membuat anak trauma," lanjutnya.

"Assalamualaikum." Pak Fadli memeluk anaknya sebentar. Kemudian, mulai berjalan meninggalkan teras dan menuju ke mobil.

"Wa'alaikumsalam."

Zahra masih menatap kepergian papanya. Sampai suara si kecil membuatnya mengalihkan pandangan. Zahra masuk ke dalam rumah, tanpa ia sadari, ada seseorang yang sedang memperhatikannya.

Orang itu masih ragu. Antara mau masuk atau tidak. Setelah mengingat sesuatu, ia pun memutuskan untuk masuk, meskipun dengan langkah yang ragu dan beberapa kali menghela nafas pelan.

Ketukan pintu keempat kali, pintu rumah tersebut baru dibuka. Ia semakin gugup. Setelah penolakan kemarin, ia memutuskan untuk tidak menemuinya. Namun, lagi-lagi semesta seperti mempermainkannya dengan mendekatkan ia pada wanita itu lagi. Meskipun, kedatangan ini karena perintah dari orang yang sangat dia hormati.

"Langsung ke paviliun aja atau mau ketemu Meira dulu?" tanya Zahra ramah.

"Ketemu Meira. Aku ada janji ngajak dia jalan-jalan," jawabnya.

"PAPA!"

Dia adalah papanya Meira--Revan. Pria itu memeluk anaknya. Akhir-akhir ini mereka jarang bertemu. Revan sangat merindukan Meira, begitupun sebaliknya. Sore ini mereka akan menghabiskan waktu bersama. Revan melirik Zahra. Wanita itu tersenyum tipis. Keinginannya untuk memiliki wanita itu masih besar, namun mengingat penolakan-penolakan itu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Zahra lagi.

"Ayo, jalan-jalan, Papa!"

"Meira, Papa kan baru dateng. Diajak masuk dulu, kasian Papanya masih capek," ucap Zahra.

Revan terpaku mendengar perkataan dari Zahra. Tidak salah dengar, kan? Zahra tidak se-ketus dan se-jutek dulu. Zahra yang dulu kembali. Zahra yang bertutur kata lembut, perhatian, dan penyayang. Tanpa sadar, ia tersenyum.

***
Setelah mengajak Meira jalan-jalan, Revan masih berada di teras rumah. Dia masih ingin menikmati kopi buatan Zahra. Dan juga pisang coklat yang baru saja disajikan. Ia mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Revan yakin, itu adalah Zahra. Karena Meira pasti sudah tidur dan tadi bibi juga lagi keluar.

Revan berusaha biasa-biasa saja. Meski, dalam hatinya ia sangat berdebar. Benar saja. Zahra duduk di sebelahnya, tapi sama sekali tidak menatapnya.

"Gak tidur?" tanya Revan.

"Belum ngantuk," jawab Zahra.

"Kenapa keluar? Di sini dingin," tanya Revan lagi. Dia tidak berbohong. Di luar memang sangat dingin.

"Nemenin tamu," balas Zahra.

Revan tertohok. Tamu? Jadi, keberadaannya di sini hanya dianggap tamu? Revan menertawakan dirinya sendiri karena terlalu berharap lebih. Tapi, perkataan Zahra tidak salah. Dia memang tamu, 'kan? Meski, dia adalah ayah kandung Meira, tapi tetap saja ini bukan rumahnya dan Zahra bukan siapa-siapanya.

Hening. Cangkir Revan sudah kosong. Di piring putih masih tersisa dua pisang coklat. Revan berdiri dari kursi kayu. Zahra menatapnya. Tatapan sayu itu membuatnya terpaku sejenak. Namun, sesegara mungkin dia memalingkan wajah.

"Kopinya udah habis. Aku balik ke paviliun," pamitnya.

"Besok bisa anter aku?"

Deg!

Itu Zahra, kah? Revan merasa tidak percaya. Hari ini Zahra banyak berubah. Revan membalikan badannya.

"Bisa," jawabnya singkat.

"Jemput aku, bisa gak? Selama Papa tugas, kamu bisa antar-jemput aku?" Revan mengangguk. Mana sanggup dia menolak permintaan Zahra?

Kembali hening. Hingga, helaan nafas dari Zahra terdengar.

"Bisa gak, kita berdamai aja? Kita lupain semuanya yang udah terjadi. Aku pengen hidup tenang."

                                ***
Jangan lupa vote and comment !

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang