28. Paksaan dan Ancaman

14.9K 971 18
                                    

Akhir-akhir ini Zahra sangat sibuk. Semakin hari pasien semakin banyak. Meira yang merengek minta ke pantai pun, Zahra tidak bisa menurutinya. Alhasil, Meira pergi dengan papahnya.

Meira semakin dekat dengan Revan. Ada ketakutan yang Zahra rasakan. Apalagi, ia dan Meira sekarang jarang meluangkan waktu bersama. Zahra terlalu sibuk. Bagaimana lagi? Kalau bukan Revan, siapa lagi yang akan membantunya menjaga Meira?

"Zahra!" Zahra tersenyum manis membalas sapaan dari teman barunya.

"Aron? Gak ada pasien atau gimana? Aku aja sibuk banget, nih," tanya Zahra.

"Sedikit. Udah aku tangani semua. Akhir-akhir ini banyak yang diare. Mamah sama keponakan sampai dirawat minggu lalu," curhat Aron.

Aron ini anaknya memang pendiam. Dia gak punya teman di sini. Tapi, semenjak ada Zahra, Aron jadi ada teman curhat. Umurnya dua tahun dibawah umur Zahra.

"Iya. Makanya, aku sibuk banget. Sampe gak bisa nemenin anak ke pantai," balas Zahra.

"Kamu udah punya anak?" tanya Aron. Aron memang belum tau banyak soal Zahra.

Zahra mengangguk. "Udah," jawab Zahra singkat.

"Aku kira kamu single. Habisnya, di jari kamu gak ada cincinnya," ucap Aron sedikit kaget.

Zahra menggeleng. "Aku udah pisah."

"So great! Kamu masih muda. Jadi single parent itu gak mudah. Soalnya, Mamahku juga single parent. Dia banting tulang untuk membesarkan aku dan Kakakku. Membesarkan anak seorang diri, bukanlah suatu hal yang mudah. Bahkan, sering mendapat olokan dan hinaan. Hebat!" Aron tak henti-hentinya memuji Zahra.

"Aku gak membesarkan anakku sendiri kok. Mantan suamiku juga ikut andil. Karena bagaimanapun juga, seorang anak itu membutuhkan kasih sayang lengkap. Aku juga gak pernah membatasi pertemuan mereka," jawab Zahra.

Aron duduk di kursi depan khusus untuk pasien. Lagi tidak ada pasien. Jadi, mereka lebih leluasa saling curhat.

"Wow! Kamu masih akrab dengan mantan suamimu?"

Zahra mengangguk. "Why not?"

"Jarang-jarang, sih. Kami aja sampai sekarang masih membenci Papah," ucap Aron curhat lagi.

Zahra mengusap punggung Aron. Dia begitu rapuh ketika menceritakan tentang papahnya. Tidak ada anak yang baik-baik saja ketika ditinggal papahnya pergi dan memilih bersama keluarga barunya. Tapi, memaafkan jauh lebih baik. Karena menyimpan dendam itu tidak baik, malah akan menyakiti diri sendiri.

"Belajar memaafkan beliau. Dia Papah kamu. Darahnya mengalir di tubuh kamu. Jangan menyakiti diri sendiri, Aron. Ikhlaskan," nasehat Zahra.

Aron tersenyum. Hatinya tersentuh setelah mendengarkan perkataan Zahra. Tutur kata Zahra yang lembut membuat hati Aron berdesir.

'Apa aku jatuh cinta?'

***
"Lepas, Mas!"

Revan melepaskan cengkraman tangan pada pergelangan tangan Zahra. Ia kesal bukan main. Seharian Meira murung, mamahnya tidak bisa menemani ke pantai. Tadi di pantai Meira juga tidak terlihat enjoy.

"Kamu keterlaluan, Zahra! Meira butuh kamu! Dia murung! Kalau kayak gini, gak usah kerja sekalian kalau kamu mengabaikan Meira seperti itu!" bentak Revan.

"Aku tidak mengabaikan Meira, Mas! Aku emang sibuk!" bantah Zahra.

Zahra tidak pernah melihat Revan semurka ini. Dia selalu sabar dan tenang jika menghadapi dirinya. Zahra jadi merasa bersalah.

"Meira butuh kamu. Kita rujuk! Kamu gak perlu kerja! Aku gak terima penolakan!" final Revan.

Zahra mendelik. Apa-apaan mengambil keputusan seenaknya saja. Kenapa harus Revan yang jadi mengatur hidupnya? Revan hanya ayah dari anaknya, bukan suaminya lagi. Revan tidak punya hak untuk itu.

"Ini hidupku, Mas! Memangnya, kamu siapa main ngambil keputusan begitu saja? Kamu lupa kalau kita ini hanya masa lalu?"

"Ya, kita hanya masa lalu! Tapi, aku masih cinta sama kamu, Zahra! Kalau kamu gak bisa dengan cara halus, maka aku akan menggunakan cara kasar untuk membuatmu kembali jadi milikku!" tegas Revan.

"Gila! Kamu sudah gila, Mas!" teriak Zahra.

"Itu semua karena kamu selalu menolakku, Zahra!" Revan tak mau kalah.

Zahra terisak. Kecewa dengan ucapan Revan barusan. Revan yang lembut kini telah berubah menjadi Revan yang pemaksa dan kasar.

"Atau nggak, Meira akan aku ambil," ancam Revan. Tidak ada pilihan lain. Zahra sangat keras kepala.

PLAK!

"Kelakuan kamu yang seperti ini, Mas, yang bikin aku tambah gak mau rujuk sama kamu!" Revan tidak peduli.

"Keputusan ada di tangan kamu. Kita rujuk, atau kamu akan kehilangan Meira," ucap Revan sebelum melenggang pergi.

             
                               ***
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang