37. Mengejutkan!

20.5K 1K 54
                                    

Happy Reading ❤️
Jan lupa baca juga bacotan gue di bawah!

                           ***
        
Zahra tertawa ngakak mendengar cerita Hendra. Kata Hendra, Revan mengira undangan yang diberikan oleh Joffy tempo hari itu adalah undangan pernikahannya dengan Joffy. Padahal, tidak. Hendra juga ngakak ketika mendengar jawaban dari Zahra.

Wajah Zahra yang semula ceria, kini seolah menyiratkan kebimbangan. Ada hal yang harus ia utarakan pada Revan, namun harus lewat Hendra. Dia terlalu takut jika Revan akan berbuat nekat padanya.

"Ndra," panggil Zahra lirih.

Hendra menghentikan tawanya. Ia menatap sahabatnya itu. Dari raut wajah Zahra, pasti dia akan memberitau suatu hal.

"Gue ...." Zahra menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya.

"Gue juga bakal nikah," ucap Zahra dengan menundukkan kepalanya.

Hendra tersenyum simpul. Ia mengira bahwa Zahra sudah menerima Revan dan bersedia rujuk dengan Revan. Namun, setelah mendengar lanjutannya, senyuman Hendra luntur. Beginikah akhirnya?

"Nikah sama partner kerja gue. Namanya Aron. Dia yang selalu buat gue bahagia setiap harinya. Emang, sih, awalnya gue biasa aja. Tapi, lama-kelamaan rasa itu timbul juga. Gue tau ini bakal nyakitin Revan. Tapi, bukannya ini hidup gue? Gue berhak milih siapa aja yang menurut gue itu cocok di hati gue," lanjut Zahra.

Benar. Tidak ada yang salah dari perkataan Zahra. Hidup Zahra adalah pilihannya sendiri. Zahra tidak salah karena lebih memilih Aron, daripada Revan. Hendra mengerti. Revan sudah melukai hati Zahra, dan ini saatnya Zahra bahagia bersama yang lain.

Lelaki pilihan Zahra itu lelaki yang tepat. Kalian berpikir jika Hendra tidak tau apa-apa tentang hidup Zahra? Kalian salah besar. Dia tau segalanya. Namun, dia berpura-pura tidak tau. Hendra juga tau tentang Aron.

Usianya lebih muda daripada Zahra, namun sikapnya yang lemah lembut dan sopan membuat tampak dewasa. Hendra akui, mereka cocok.

"Kalau itu keputusan lo, gue dukung aja. Gak ada yang melarang. Ini hidup lo sendiri," jawab Hendra.

"Gue takut Revan---"

"Gue yang bakal ngomong sama dia. Lo gak perlu khawatir, Zahra," potong Hendra.

"Makasih, Hendra. Lo emang sahabat baik gue."

***
Pecahan-pecahan kaca memenuhi lantai kamar seorang duda ber-anak satu. Siapa lagi kalau bukan Revan. Tadi Hendra datang ke rumahnya, katanya habis dari rumah Zahra. Revan langsung senang mendengarnya saat Hendra berkata kalau undangan pernikahan itu dari Joffy dan perempuan lain.

Senyumannya yang terpancar tidak bertahan lama. Iya, Zahra tidak bersanding dengan Joffy, melainkan dia akan bersanding dengan Aron. Tidak terima dengan keputusan Zahra tersebut, Revan langsung mendatangi rumah Zahra. Tapi, apa yang dia dapat? Dia malah melihat rombongan keluarga Aron berada di dalam rumah Zahra. Apalagi kalau bukan acara lamaran?

Hancur sudah. Harapannya pupus begitu saja. Dua tahun lebih berjuang untuk mendapatkan hatinya kembali, namun pada akhirnya dia lebih memilih laki-laki lain.

"Revan! Nak! Buka pintunya, Nak. Ibu mau bicara." Suara dari ibunya terdengar. Namun, Revan tak menggubrisnya.

Tok ...! Tok ...! Tok ...!

Tidak ada pergerakan dari Revan. Pikirannya lagi kalut. Tidak tau harus berbuat apa lagi. Kilasan empat tahun yang lalu terbayang kembali. Di mana dia lebih memilih untuk menemani mamanya Amel kemoterapi, daripada membawa Meira yang saat itu demam ke Rumah Sakit.

Kini dia sadar, harusnya dia tidak terlalu memaksakan kehendaknya. Dari awal, di sini yang salah dia dan Amel. Berhianat di belakang Zahra. Bersenang-senang ketika Zahra sedang berjuang merawat anaknya seorang diri. Lalu, dengan mudahnya dia meminta kembali? Revan baru menyadari kesalahannya.

Ceklek!

"Revan." Revan hanya bergumam.

"Ibu memang menginginkan Zahra kembali jadi menantu Ibu. Tapi, kalau Zahra sudah bahagia dengan pria lain. Ibu bisa apa? Kamu harus bisa ikhlas, Nak."

"Iya. Revan sudah ikhlas, Bu," lirih Revan.

"Ikhlas seperti apa yang kamu bicarakan? Berteriak-teriak, memecahkan semua barang, semuanya jadi pelampiasan amarah kamu."

"Maaf."

"Ikhlaskan Zahra, Nak. Kasihan Meira kalau kalian ribut terus. Jangan rusak mental anakmu dengan sikap egoismu itu," pesan Ibu.

Revan mengangguk. "Emang seharusnya, Revan gak memaksakan kehendak. Revan bakal ikhlasin Zahra untuk laki-laki lain."

Revan rasa, memang ini saatnya dia menyerah. Biarlah kenangan indah bersama Zahra terhapus dengan sendirinya. Biarlah Zahra menjadi masa lalu terindahnya. Tak perlu dikenang dan diingat. Ikhlas dan berdamai untuk saat ini lebih dibutuhkan. Guna menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi.

                             ***
Oke, karena tempo hari ada yang bilang kalo cerita ini malesin untuk dibaca karena gak ending-ending, akhirnya gue cepetin endingnya aja.
Mungkin, dua sampai tiga part lagi udah end.
Sebenarnya, apa yang dia bilang bener.
Cerita ini terlalu banyak konflik dan bikin pembaca males baca.
So, buat lo yang komen kemarin.
Thank you udah ngritik.🙏
Oh, ya.
Kalau cerita ini tamat.
Mau sequel apa enggak?

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang