Happy Reading ❤️
Merasa tidak ada respon dari Zahra, Revan melenggang pergi. Sementara, Zahra hanya menghela nafas. Mendapatkan restu dari pamannya? Bahkan, pamannya saja membenci Revan. Entahlah, nasib Revan nanti akan seperti apa jika bertemu dengan Brendan dan Ansel.
Larangan bertemu dengan Revan masih teringat jelas di otak Zahra. Pamannya dan Ansel sangat murka dengan Revan waktu itu. Yang Zahra takutkan, paman dan Ansel akan menghajar Revan. Ibu anak satu itu tak mau terjadi sesuatu pada ayah dari anaknya.
Zahra menghentikan aktivitasnya. Ia berjalan menuju kamar sang papah. Zahra sangat berharap papahnya punya solusi akan hal itu. Karena tidak mungkin kalau Zahra mengusir Revan. Revan ada di rumahnya, sebab permintaan Meira. Jika sudah menyangkut tentang Meira, Zahra tidak bisa menolak.
"Papah," panggil Zahra.
"Eh, Zahra. Ada apa, Nak?" Pak Fadli menaikkan satu alisnya.
"Soal Paman sama Ansel. Aku takut mereka nyakitin Mas Revan. Mereka tidak pernah suka sama Revan, apalagi mereka tau penyebab perpisahan aku dengan Mas Revan dulu," jelas Zahra.
"Papah sangat tau sifat keluarga mereka. Kejam, bengis, sombong!"
"Papah saranin, Revan jangan sampai bertemu dengan mereka. Papah sangat yakin, mereka datang dengan anak buahnya untuk menghabisi Revan," lanjut Pak Fadli.
"Tapi, gimana dengan Meira? Sehari gak ketemu aja merengek minta dianterin ke rumah Bapaknya," kesal Zahra.
"Lho, enam bulan kemarin tanpa Revan bisa, tu? Ya, kamu kasih pengertian ke Meira. Dia pasti ngerti, dia pinter kayak Mamahnya, kan?" balas Pak Fadli.
"Papah, mah! Zahra serius ini!" Zahra mengurucutkan bibirnya.
"Katanya, udah gak mau sama Revan lagi. Sekarang, kelimpungan takut Revan celaka," sindir Pak Fadli, membuat Zahra menundukkan kepalanya, malu.
"Emangnya Papah mau Revan kenapa-kenapa, terus cucu Papah sedih?" tanya Zahra membuat Pak Fadli terdiam.
"Ya, nggak gitu. Pokoknya, kamu larang Revan datang ke rumah dulu. Kasih pengertian ke Meira," saran Pak Fadli.
"Iya, deh. Yaudah, Zahra bicara dulu sama Mas Revan," ucap Zahra sembari beranjak dari kursi.
"Bicarain masa depan juga, ya!" goda Pak Fadli sembari tersenyum jail.
Zahra mendengus kesal. Ya, begitulah Pak Fadli. Kadang galak, kadang tegas, dan kadang juga suka jail.
***
Brenda dan Ansel kini sudah berada di kediaman keluarga Bagaskara. Setelah bicara dengan Revan dan memberikan Meira pengertian, akhirnya Zahra bisa bernafas lega karena mereka berdua bisa mengerti. Untuk sementara ini, Meira dan Revan tidak bisa bertemu. Sampai Zahra menemukan cara agar dapat bertemu kembali sebelum mereka berangkat ke Jerman.Zahra dan Meira memang menyambut kedatangan Brendan dan Ansel sangat antusias. Tidak dengan Pak Fadli yang sedari tadi sangat sinis dengan keduanya.
"Tuan Bagaskara, apa kabar?" tanya Brendan sekedar basa-basi. Bukan dia banget, tapi besannya yang satu ini sangat kaku, menurutnya.
"Baik," jawab Pak Fadli singkat.
"Masih dengan profesimu, Tuan?" tanya Brendan lagi.
Mata Pak Fadli menajam kala Brendan menyinggung soal profesinya. Masih ia ingat, dulu Brendan Anderson menghinanya karena ia berprofesi sebagai tentara. Brendan berkata, profesinya takkan bisa membuat mendiang istrinya bahagia dan hanya menyengsarakannya saja. Tapi, kenyataannya? Alm. Alarice---istrinya bisa hidup bahagia, bahkan tak pernah merasa kekurangan.
Brendan Anderson terlalu sombong. Kekayaan yang ia miliki membuatnya menutup mata dan sering meremehkan orang lain. Itu yang membuat Zahra tak betah tinggal bersama keluarga mereka dan memilih tinggal bersama Pak Fadli.
"Tuan Anderson yang terhormat! Saya rasa, Anda tidak berubah. Dari dulu seringkali meremehkan orang lain. Ingat, Tuan! Di atas langit masih ada langit!" tegas Pak Fadli.
Menyadari suasana menjadi sangat tegang, Zahra pun ikut menimbrung.
"Papah, Paman, Ansel, Zahra udah masak banyak banget tadi. Kita makan dulu, yuk," ajak Zahra.
"Tentu, Zahra! Mari, Tuan Bagaskara," jawab Brendan sok akrab dengan Pak Fadli.
"Ini rumah saya, Tuan Anderson, kalau Anda lupa," sungut Pak Fadli menatap Brendan sinis.
"Sudah-sudah. Ayo, Dad!" ucap Ansel yang sedari sudah pusing mendengar perdebatan tak berfaedah dari kedua orang tua tersebut.
Di meja makan sudah banyak makanan yang tertata. Ansel menatapnya berbinar. Sudah lama tidak memakan makanan Indonesia yang menurutnya enak semua itu. Makanan khas Indonesia yang paling ia sukai adalah Rawon. Dan makanan itu sekarang berada di hadapannya.
"Kau selalu tau kesukaanku, Zahra," ucap Ansel dengan tersenyum senang.
"Tentu."
"Meira, mau makan apa kamu?" tanya Brendan pada Meira yang berada di pangkuannya.
Pertanyaan dari grandpa-nya itu tak digubris. Entah sedang memikirkan apa anak itu.
'Meira pengennya makan sama Papah,' batin Meira.
"Meira!" panggil Brendan dengan menoel pipi gembil Meira.
"Meira, itu dipanggil sama Grandpa, lho," ucap Zahra.
"Meira mau makan ayam goreng, Mamah," jawab Meira dengan suara pelan dan wajah yang murung.
Zahra mengerti, anaknya itu pasti menginginkan papahnya. Zahra tersenyum miris. Merasa bersalah karena tidak bisa membuat Meira dekat dengan papahnya. Apalagi, lusa mereka akan berangkat ke Jerman. Tapi, Zahra berjanji akan memikirkan cara untuk bertemu dengan Revan tanpa diketahui oleh paman, ataupun Ansel.
***
Jangan lupa vote and comment!

KAMU SEDANG MEMBACA
EX HUSBAND (END)
No FicciónPernikahan yang sudah dibina selama hampir sepuluh tahun itu kandas karena hadirnya orang ketiga. Zahra tidak pernah menyangka bahwa pelakor yang merusak rumah tangganya itu adalah sahabatnya sendiri. Revan merasa sangat menyesal dan merasa kehilan...