03. Mendapatkan Maaf dan Dipecatnya Revan

57.3K 3.3K 51
                                    

Happy Reading ❤️

   

                            *****

Zahra mengawali hidupnya sebagai single parent di Jerman dengan mendaftarkan diri ke salah satu Universitas. Universitas Heidelberg. Hubungan Zahra dengan Bibinya sudah mulai membaik karena permintaan maafnya kemarin. Jadinya, Meira akan dititipkan ke Bibinya.

Flashback On.

Rasa malu pada diri Zahra sedikit terkikis. Ia tak bisa seperti ini terus-menerus. Dan Zahra memutuskan untuk meminta maaf. Bagaimanapun juga, ia salah. Paman dan Bibinya pasti kecewa karena ia menikah tanpa mengundangnya.

Zahra akan menerima respon apapun dari Paman dan Bibinya. Yang paling penting sekarang adalah meminta maaf. Kalaupun tidak dimaafkan, Zahra akan berusaha untuk mendapatkan maaf dari Paman, apalagi Bibinya yang sudah ia anggap seperti Mamahnya sendiri.

Tok ...! Tok ...! Tok ...!

Ceklek!

Pintu pun terbuka, Zahra terpaku melihat wanita paruh baya yang sedang menatapnya dengan tatapan kaget. Sontak, wanita paruh baya tersebut memeluk Zahra, sangat erat.

"Zahra, endlich kommst du auch hierher. Deine tante vermisst dich so sehr!" pekik Bibi Adeline. [Zahra, akhirnya kamu kesini juga. Bibimu ini sangat merindukanmu!]

"Vergib Zahras Fehler, tante," balas Zahra seraya terisak. (Maafkan kesalahan Zahra, Bibi.)

Mereka saling melepaskan pelukannya. Zahra beralih menatap Meira yang menatapnya bingung. Zahra paham. Ia kembali menatap Bibinya. "Tante, können wir nur Indonesisch verwenden? Mein Sohn versteht kein Deutsch," pinta Zahra. (Bibi, bisakah kita menggunakan bahasa Indonesia saja? Anakku tidak paham dengan bahasa Jerman.)

"Baiklah-baiklah. Mari, kita masuk. Kebetulan, Bibi lagi masak makanan kesukaan kamu. Ayo Baby, kita masuk. Lucu banget kamu," jawab Bibi Adeline seraya menoel pipi Meira.

Saat Zahra masuk, ia melihat Paman dan Sepupunya sedang berbincang di ruang tamu. Zahra melangkah dengan ragu. Bukan lagi malu, tapi takut. Ia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan mungil Meira.

"Mamah, sakit!" pekik Meira sembari mencoba melepaskan genggaman tangannya.

Pekikan Meira membuat semua orang yang ada didalam rumah menoleh ke arah Meira dan Zahra. Tampak sekali wajah terkejut dari Paman dan Sepupunya. Namun, mereka senang dengan kehadiran Zahra.

"Mein Neffe!" panggil Paman Brendan. (Keponakanku!)

"Maaf, Sayang. Mana yang sakit." Zahra menatap Meira khawatir. Ia mengelus tangan mungil anaknya itu.

Setelah itu, Zahra menghampiri Paman Brendan dan Ansel--Sepupunya. Zahra mencium punggung tangan Pamannya, lalu memeluk tubuh atletis milik Ansel. Ansel masih tak percaya dengan kedatangan Zahra, hingga tak sadar bahwa Zahra sedang memeluknya.

"Vergib mir meinen Fehler. Es tut mir wirklich leid," ucap Zahra seraya menundukkan kepalanya. (Maafkan kesalahanku. Aku sungguh menyesal.

"Tidak apa-apa, Zahra. Kami semua sudah ikhlas dengan pilihanmu. Itu anakmu? Dia sangat cantik, sama sepertimu. Lalu, kemana suamimu? Kau datang sendiri?" Zahra terdiam ketika Pamannya menanyakan tentang Revan.

"A-aku sudah pisah."

"Dia selingkuh," lanjut Zahra tak berani menatap mata Pamannya.

Setelah menceritakan tentang perselingkuhan Revan, Paman Brendan dan Ansel naik pitam. Mereka takkan membiarkan Zahra bertemu dengan Revan lagi. Itu janji seorang Tuan Brendan Anderson dan Ansel Anderson.

Flashback Off.

Kini, ia akan membuka lembaran baru dengan sibuk dengan kuliah tentunya, mengurus Meira, dan mencari pekerjaan. Uang yang Revan kirimkan setiap bulannya, tidak pernah ia gunakan. Zahra lebih memilih untuk menafkahi anaknya dengan hasil jerih payahnya sendiri.

***
Revan masih dengan keadaan yang sama. Hancur. Rapuh. Menyesal. Ia hidup seperti mayat. Tak berekspresi. Penyesalan yang begitu besar membuatnya semakin terpuruk. Tidak ada teman yang menemani. Satu persatu orang yang dia sayang mulai pergi, meninggalkannya. Termasuk, Ibu kandungnya sendiri.

Wanita paruh baya itu sekarang bahkan tak menganggap Revan anaknya. Ia marah dan kecewa dengan anak bungsunya itu yang telah menyakiti hati wanita sebaik Zahra. Zahra adalah menantu kesayangannya. Hanya Zahra lah yang mengerti dirinya dan perhatian padanya. Hanya Zahra yang bisa menghargainya, meski Zahra berasal dari keluarga terpandang.

Ya, keluarga Revan hanyalah keluarga dari kalangan menengah. Dan itu juga yang membuat Paman dan Bibinya Zahra tidak merestui pernikahan Zahra dengan Revan. Karena Zahra adalah anak perempuan satu-satunya dari keluarga mereka. Mereka tidak ingin Princess mereka hidup susah.

"Van, lo dipecat." Apa lagi ini? Revan menatap temannya itu sendu. Masalah demi masalah menghampiri dirinya dengan waktu yang bersamaan.

Apa ini karma untuknya?

"Kenapa?" tanya Revan lirih.

"Moral lo! Jujur aja, gue juga kecewa sama lo, Van. Itu balasan buat lo yang udah selingkuhin wanita sebaik Zahra. Kalau nggak mampu setia, kenapa nggak lo kasih aja ke gue? Kasihan, cantik dan baik gitu diselingkuhin," balas Ridho dengan nada sinis.

Bugh!
Bugh!

"Revan! Ridho!" teriak Hendra yang baru saja datang.

"Kalian apa-apaan, sih?!" bentak Hendra seraya menatap Revan dan Ridho bergantian.

"Lo nggak akan pernah dapetin Zahra! ZAHRA MILIK GUE!" teriak Revan seraya mencengkram kerah seragam loreng Ridho.

Ridho dan Hendra terkekeh, meledek perkataan yang baru saja dilontarkan oleh Revan. "Lo gila, ya, Van? Bahkan, lo dan Zahra aja udah resmi cerai! Gue pastiin, Zahra nggak akan mau balik lagi sama lo," ucap Ridho seraya melenggang pergi.

Hendra menepuk bahu Revan pelan. Revan menatap Hendra, lalu matanya beralih ke kantong plastik warna hitam yang dibawa oleh Hendra.

"Makan. Gue nggak mau lo mati. Kasihan ponakan gue," kekeh Hendra.

                             ***
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang