04. Marahnya Mantan Mertua

48.7K 2.7K 59
                                    

Happy Reading ❤️

                               ****

Seorang wanita dengan pakaian syar'i-nya itu sedang berjalan menyusuri koridor kampus. Hari ini, Zahra telah mendaftar dan lusa sudah bisa masuk. Rencananya, Zahra akan mengajak anak, Paman dan Bibinya, serta Ansel makan malam di restoran. Wanita itu ingin menghabiskan waktunya bersama keluarga sebelum disibukkan dengan kegiatan kampus dan pekerjaannya.

Zahra juga bekerja sebagai pelayan di salah satu cafe dekat kampusnya. Meski, gajinya tak seberapa, tapi Zahra pikir itu lebih baik daripada menganggur. Bagaimanapun juga, Zahra harus menghidupi anaknya. Ia juga tak mau merepotkan Paman dan Bibinya.

BRAK!

"Entschuldigung, ich habe es eilig," ucap pria yang menabrak Zahra tadi. (Maaf, aku buru-buru.)

Tanpa membantu Zahra yang tersungkur di lantai, pria tersebut langsung pergi begitu saja. Tiba-tiba sebuah tangan terulur untuk membantu Zahra berdiri. Zahra sempat terpaku, namun sedetik kemudian ia berdiri sendiri mengabaikan uluran tangan tersebut.

"Es tut uns leid. Wir sind kein mahram," ucap Zahra seraya menundukkan kepalanya. (Maaf. Kita bukan muhrim.)

"Tidak usah memakai bahasa Jerman. Aku berasal dari Indonesia. Kamu mahasiswi baru?" balas pria tersebut.

"Oh. Iya, saya mahasiswi baru," jawab Zahra seraya menatap pria tersebut.

"Aku Beni Ibrahim. Nama kamu siapa?" Pria itu menatap Zahra.

"Zahra. Maaf, Mas. Saya permisi dulu," pamit Zahra seraya tersenyum tipis, lalu melenggang pergi.

Hati Beni berdesir ketika melihat Zahra tersenyum, meski hanya tipis. Ia masih setia menatap punggung Zahra yang mulai menjauh. Hingga tidak sadar bahwa Zahra benar-benar sudah tidak terlihat.

"Cantik," gumamnya.

Zahra menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Saat ini, ia sedang memasak untuk makan siang. Karena sepulang dari rumah Paman dan Bibinya, Meira mengeluh kelaparan. Zahra memasak bubur kesukaan Meira.

Sepuluh menit kemudian, bubur itupun sudah jadi. Meira menyambut kedatangan Mamahnya yang membawa semangkuk bubur dengan sangat antusias. Pasalnya, selama di rumah Nenek dan Kakeknya, Meira hanya memakan makanan khas Jerman yang membuatnya tidak jadi makan.

"Pelan-pelan, Sayang. Lapar banget, ya? Emang tadi Meira nggak makan?" tanya Zahra heran melihat anaknya yang lahap makannya.

"Makan. Tapi, makanan yang dimasak Oma nggak enak. Meira nggak suka," jawab Meira.

"Yaudah, deh. Nanti Mamah bilang sama Oma biar masakin makanan Indonesia aja untuk Meira," ucap Zahra dibalas anggukan oleh oleh Meira.

Senyuman manis terbit dari bibir Zahra ketika melihat anaknya tertawa bahagia seraya menonton kartun kesukaannya di ponsel. Meira adalah hidupnya. Ia tidak tau, apakah ia masih kuat jika tidak ada Meira di sisinya. Zahra bangkit untuk Meira. Jika ditanya, apakah sedih atau tidak? Yang pasti jawabannya, iya!

Siapa yang tidak sedih saat orang kita cintai menghianati kita? Siapa yang tidak sedih melihat anak kita harus berpisah dengan Bapaknya? Sebenarnya, Zahra juga tidak mau memisahkan Meira dengan Papahnya. Tapi, apa boleh buat? Hati dan pikiran meminta untuk ditenangkan. Dan ia pikir, pulang kampung adalah jalan yang terbaik.

***
Revan menatap Ibunya dengan tatapan sendu. Bagaimana ia menghidupi Ibu dan anak-anak dari almarhum Kakaknya? Mereka adalah tanggung jawab Revan. Dan pria itu baru saja dipecat. Revan hanyalah lulusan SMA. Ia merasa sangat bingung harus mencari pekerjaan dimana.

"Hallo, Dra! Gue mau ketemu lo! Sekarang!"

Setelah mematikan panggilannya. Revan pun mendekati sang Ibu. "Buk, Revan pulang dulu, ya. Doa'in Revan biar cepat-cepat dapat kerjaan," ucap Revan seraya mencium punggung tangan Ibunya.

Ibunya Revan hanya diam, menatap Revan pun enggan. Revan menghela nafas berat. Kesalahannya begitu besar, Ibunya saja tidak mau memaafkannya, apalagi Zahra? Kehidupannya saat ini berada di titik rendah. Revan benar-benar frustasi.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab wanita paruh baya itu pelan, bahkan Revan pun tak mendengarnya.

'Doa Ibu selalu menyertaimu, Nak. Maaf, Ibu belum bisa menerima perpisahan kalian. Ibu belum siap kehilangan Zahra dan Meira,' batinnya.

Hendra sudah berada di tempat yang diberitau oleh Revan tadi. Tak lama kemudian, Revan pun datang. Revan menghela nafas panjang. Hendra menatap Revan dengan tatapan penuh arti.

"Kenapa lo ngajak gue ketemuan? Mau curhat?" tanya Hendra.

"Nggak. Gue mau lo cariin kerjaan buat gue. Gue mohon, Dra. Gue harus biayain kehidupan Ibu dan anak-anak dari Bang Ervan. Belum lagi gue harus ngirim uang bulanan buat Meira," jelas Revan.

"Gampang kalau itu mah. Besok lo juga udah bisa kerja kalau lo mau. Oh ya, Van. Kemarin Zahra hubungin gue. Katanya, lo nggak perlu kirim uang bulanan buat Meira. Dan uang yang lo kirim bakal dikembalikan lagi," jawab Hendra.

"Huh, kabar dia gimana?" tanya Revan lirih.

"Baik-baik aja. Zahra aja udah bisa move on, masa lo mau gini-gini aja," cibir Hendra.

Bugh!

Tiba-tiba seorang pria paruh baya menarik kerah baju Revan dan memukul Revan. Hendra terkejut dengan kedatangan pria tersebut.

'Om Fadli? Bukannya dia lagi tugas di NTT?' batin Hendra.

Bugh!

"Saya sudah mempercayakan anak perempuan saya kepada kamu. Dan sekarang kamu malah membuatnya terluka. Apakah kamu tidak tau susahnya membuatnya bahagia? Zahra sudah sangat terluka ketika kehilangan Mamahnya. Dan kamu malah menambah luka itu!" marah Pak Fadli.

Bugh!

"Dan kamu telah membuatnya pergi jauh dari saya. Kamu membuat saya tidak bisa bertemu dengan anak dan cucu saya. Kamu telah lancang mengembalikan Zahra di tangan mereka! Susah payah saya mengambil hak asuh Zahra!" Pak Fadli menatap Revan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Saya akan menghabisi kamu!"

Bugh!
Bugh!

"Om, udah, Om. Zahra bakal kembali kesini." Hendra mencegah Pak Fadli memukul Revan yang sudah terkapar di lantai.

"Mereka tidak akan membiarkan Zahra kembali, Hendra! Mereka licik!" bentak Pak Fadli.

"Om Brendan dan tante Adeline udah kayak dulu lagi, Om. Zahra udah dewasa, udah punya anak! Om nggak akan kehilangan Zahra seperti dulu lagi. Percaya sama Hendra," ucap Hendra menyakinkan Pak Fadli.

Setelah Pak Fadli cukup tenang, Hendra pun membawa Revan ke Rumah Sakit. Pria itu pingsan di tempat. Sepanjang perjalanan, Hendra tak henti-hentinya mengumpati Revan. Bagi Hendra, Pak Fadli sudah seperti Ayahnya sendiri. Hendra tak sampai hati melihat Pak Fadli terpuruk karena kepergian Zahra ke Jerman.

"Van, Van! Kalau gue nggak inget ponakan gue, udah gue habisin lo!"

                             ****
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang