Bab 2 : Kenyataan Pahit

1.7K 164 142
                                    

Senja membayang, sementara Adel masih setia dengan isak tangis yang tak kunjung reda. Memang tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding pengkhianatan oleh orang yang paling dipercaya. Baik Fathan maupun Aisha, keduanya adalah orang yang selalu menjadi tempat ia menaruh segala keluh kesah. Terhadap sang kakak, mulai dari kisah paling pilu hingga yang memalukan telah diceritakan. Semua kisah cinta, aib dan segala harap — Aisha merupakan saksi hidup.

Ponselnya berdering, panggilan dari Aisha. Tanpa basa-basi langsung ditolak. Selang beberapa detik ponsel pintar tersebut kembali berdering, masih dari orang yang sama. Adel tertawa, menekan tombol merah pada layar. Ia tak berminat bicara dengan siapa pun hari ini.

Menyeka air mata yang mulai mengering, perempuan itu membawa kakinya melangkah menyusuri jembatan. Jalanan sedikit lengang, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Di kedua sisi jembatan penghubung dua kota ini terdapat jembatan kecil  khusus bagi pengguna jalan yang ingin menikmati keindahan sungai dan pemandangan yang tersaji. Berpegang pada pagar pembatas, Adel membiarkan angin memainkan rambutnya. Berharap setiap luka yang ia terima menguap dan pergi.

Memandang jauh ke bawah, ngeri merambat. Adel menimbang-nimbang, jika nekad melompat bisa jadi nasib malang ini akan berakhir. Tak perlu lagi menahan sakit dan menanggung derita berkepanjangan. Namun, apakah itu menyelesaikan permasalahan?

“Kamu sudah tahu?”

Adel membaca kembali pesan yang dikirim Fathan beberapa jam lalu. Tampaknya lelaki itu sadar, belangnya terekspos. Menahan gejolak emosi yang kian memuncak, mencoba menghubungi kembali lelaki tersebut. Rupanya belum ada yang berubah.

Fathan tak kunjung menerima sambungan telepon. Adel tertawa pelan,bisa jadi ini alasan sang kekasih sulit dihubungi. Lelaki itu hendak melarikan diri, atau terlalu malu berhadapan dengannya? Lalu bagaimana dengan Aisha? Apa yang harus ia lakukan terhadap dua anak manusia tersebut?

Benda pipih yang ia simpan di saku celana kembali berdering, kali ini dari Ibu. Adel menghela napas, menetralkan suara yang berubah parau akibat terlalu lama menangis. Sama sekali tak siap memberi tahu sang Ibu apa yang tengah terjadi.

“Bu–” Adel tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ibu lebih dulu memotong.

“Pulang kamu sekarang!”

Sambungan telepon berakhir begitu saja. Adel mengerang frustasi, semuanya semakin tak terkendali. Ibu sudah tahu. Tak terpikir betapa murka Ayah dan Ibu sekarang. Dibanding Adel yang semaunya dan kerap melakukan pemberontakan, Aisha merupakan kebalikan semua sifat sang adik. Sang kakak merupakan kebanggaan keluarga. Adel tak ada apa-apanya jika disandingkan dengan Aisha.

Pulang dengan perasaan tak karuan, Adel disambut satu tamparan di pipi kanannya. Terkejut, perempuan yang tengah terluka itu menatap nanar sang Ayah. Saat ini ia adalah orang yang seharusnya dihibur, bukan malah diperlakukan seperti pelaku kejahatan.

Sementara di sudut ruangan Aisha terisak di pelukan Ibu. Adel mengusap pipinya, panas dan perih. Tapi itu tak sepadan dengan luka yang ia terima. Pertama dari Fathan dan Aisha, dan sekarang kedua orang tuanya. Mengapa di saat seperti ini mereka justru berada di pihak yang seharusnya disalahkan?

“Mana Fathan? Kamu sembunyikan di mana lelaki itu, Adel!” bentak Ayah.

Adel menggeleng, menahan air mata yang kian menggenang. “Adel nggak tahu, Yah. Mas Fathan nggak angkat telepon Adel.”

“Jangan bohong kamu! Aisha bilang Fathan tidak mau bertanggung jawab dan ngotot ingin tetap menikah denganmu. Di mana hati nuranimu sebagai seorang adik? Tega kamu membiarkan kakakmu sendiri hamil tanpa suami?” Ibu menyahut marah.

Menyambut Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang