Bab 34 : Bukan Sandiwara

624 64 12
                                    

Hari ini, ketika Arzan berbalik dan mencengkeram lengan Galih dengan wajah pucat serta deru napas yang terdengar berkejar-kejaran, Galih menyadari sesuatu. Betapa besar dan fatalnya sebuah nama yang masih menyisakan duka dan luka. Kiara.

Jika saja Galih tahu, menyebut nama Kiara sama dengan menghantarkan Arzan kembali pada masa-masa kelam itu. Maka demi Tuhan, sampai mati pun Galih tak ingin melafalkan nama itu. Tidak jika di depan Arzan yang masih belum bergerak dari masa lalunya.

Galih terlalu larut dalam permainan emosi hingga lupa jika Arzan terlalu mudah dipancing. Amarah berbalut luka lelaki yang kini berbaring di ranjang pesakitan itu selalu menggelegak bila terkenang Kiara. Galih menyesal, sebab untuk pertama kalinya ia menjadi penyebab hilangnya kesadaran Arzan.

“Sebenarnya Arzan kenapa?” Adel bertanya dengan suara gemetar. Perempuan itu masih tak mampu beranjak dari kursinya usai jatuh tak berdaya di lantai ketika Galih berteriak kesetanan memanggil perawat dan dokter. Sepasang mata Adel masih merekam jelas bagaimana Arzan bertarung dengan rasa sakitnya beberapa menit yang lalu.

“Aritmia, takikardia ventrikel. Kondisi di mana jantungnya berdetak lebih cepat daripada keadaan normal. Kamu mungkin pernah mendengar bagaimana Arzan menghabiskan hari-harinya di masa lalu dengan rokok, minuman keras dan mental yang tidak sehat. Ini sudah cukup sebagai alasan mengapa pada akhirnya dia terpaksa harus menghabiskan banyak waktu di ranjang rumah sakit dibanding berkeliaran bebas.” Galih menjelaskan.

Adel menghela napas. “Sejak kapan? Sejak kapan Arzan seperti ini?”

“Sejak pertama kali kalian dipertemukan lagi dia sudah bergulat dengan keadaan ini, Del. Sebelum bertemu denganmu, dia pikir ini tidak adil. Tuhan mengambil semua yang dia punya, termasuk nikmat kesehatannya. Karena itu, dia terus mencoba bertemu sang Pencipta. Jembatan itu, adalah satu dari sekian banyak cara yang ditempuh guna bisa berdiskusi dengan Tuhan. Sampai kalian tanpa sengaja kembali bertemu, lelaki bodoh itu mulai berpikir jika ini adalah cara Tuhan menjawab keinginannya. Jika masih ada seorang lagi yang bisa dilindungi dan dijadikan tujuan hidup. Orang itu tentu saja adalah kamu, Del.”

Bersikap terbuka pada Adel adalah satu-satunya jalan yang harus Galih tempuh mulai saat ini. Sebab entah sekarang atau besok, tak tahu kapan Tuhan akan mengambil sisa waktu yang dimiliki Arzan. Sebelum saatnya tiba, Galih ingin usaha Arzan selama ini tak berakhir sia-sia. Bahkan jika ia terpaksa harus berdusta demi kebaikan Arzan, akan Galih lakukan.

“Aku sering bilang, kamu adalah alasan Arzan bertahan sampai detik ini. Tidak satu pun di antara kita yang bisa menebak kapan dia akan lelah. Adel, demi Arzan, bisakah kamu membiarkannya mencicipi manisnya hidup walau hanya sebentar?”

Adel tahu kemana pembicaraan ini akan bermuara. Perempuan itu tak ingin mengeluh, meski jauh di dalam sana ia ikut terluka. Adel merasa, ia selalu jatuh pada luka yang sama. Luka yang membawanya kembali pada kenyataan jika setiap orang hanya ingin ia mengerti. Sementara luka dan beban yang tengah ia pikul kini, pada siapa hendak berbagi?

“Tak bisakah aku bersikap egois sekali saja?” Adel bertanya dengan wajah datar. Menatap Galih kosong.

Melalui sepasang mata yang kehilangan binarnya itu, Galih menyadari bahwa ada sesuatu yang tak bisa Adel utarakan.  Tak bisa atau tak punya kesempatan berbagi masalah. Galih menarik napas, sesungguhnya ia juga lelah.

“Katakan, apa yang mengganggu pikiranmu?”

Galih lelah, tetapi mungkin tak seletih Arzan dan Adel. Jadi, sebagai kakak yang baik. Ia memilih mengalah dan membiarkan dirinya terjun sekali lagi. Menyelami luka dua anak manusia yang tak henti-hentinya basah kuyup oleh darah mereka sendiri. Luka yang tak pernah sembuh karena keduanya enggan beranjak membebaskan diri.

Menyambut Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang