Bab 17 : Aisha dan Pengakuannya

1.4K 87 7
                                    

Bagi Adel, Aisha adalah salah satu orang yang paling mengerti perasaannya setelah Fathan. Sebagai seorang kakak perempuan, Aisha merupakan yang terbaik. Tiap kali Adel merasa terabaikan oleh Ayah dan Ibu, Aisha akan turun tangan menghiburnya. Tak segan pula membelanya.

Berbeda dengan Adel yang gampang bergaul dan menyukai kebebasan, Aisha justru sebaliknya. Rutinitasnya hanya belajar, belajar dan belajar. Kemudian setelah menuntaskan pendidikan, langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan besar dengan posisi yang lumayan. Benar-benar beruntung.

Sementara Adel luntang-lantung menyelesaikan kuliah, Aisha telah menjadi kebanggaan Ayah dan Ibu. Semua orang memuja sang kakak sedang ia semakin tak terlihat.

Fathan muncul di tengah kegelisahan Adel. Pada sebuah pertemuan tak terduga layaknya adegan drama. Lelaki itu tak sengaja menabraknya hingga jatuh terduduk di atas aspal. Kecelakaan kecil itu menjadi awal mula kedekatan mereka hingga akhirnya Adel memutuskan menerima Fathan menjadi bagian dari kisah cintanya.

Kehadiran Fathan mengubah banyak hal dalam hidupnya. Menjadi lebih bersemangat, tak lagi terobsesi mengejar Aisha yang kian tak tergapai. Untuk pertama kalinya Adel merasa ia bisa bahagia dengan caranya sendiri. Tanpa perlu menyiksa diri untuk terlihat lebih baik dari sang kakak.

Ia tak pernah bertanya, seperti apa masa lalu Fathan. Termasuk siapa saja perempuan yang pernah singgah di hati lelaki itu. Baginya itu tak penting, terlebih jika melihat bagaimana Fathan teramat menyanjungnya.

Hubungan mereka penuh duri, tanpa sebab yang jelas Ayah menolak memberikan restu. Adel tak mengerti mengapa status sosial begitu penting bagi Ayah. Ia sudah melihat betapa kerasnya usaha Fathan. Memulai semuanya dari nol hingga menemukan pekerjaan dengan gaji yang lumayan. Tapi bagi Ayah itu belum cukup.

Adel sempat berpikir untuk menyerah jika Aisha tidak menguatkan hatinya. Ya, sang kakak memintanya untuk terus memperjuangkan hubungan mereka. Aisha percaya suatu hari nanti Ayah akan luluh. Memang benar, Ayah pada akhirnya memberikan restu. Sayangnya, justru hubungan mereka yang berakhir.

Yang paling Adel sesali adalah, mengapa orang yang berperan penting dalam hubungan mereka malah menjadi biang kerok dari semua masalah pelik ini?

Aisha, sedikit pun tak pernah terpikir jika perempuan itu diam-diam menaruh hati pada Fathan. Sudah tahu sakit, mengapa berpura-pura membantu Adel mempertahankan hubungannya dengan Fathan. Jika sungguh ingin melepaskan lelaki itu pada sang adik, mengapa harus goyah dan merusak segalanya?

“Setelah Ayah memberi restu dan kalian melangsungkan pertunangan. Aku tersadar, bahwa sesungguhnya hati ini tak siap harus kehilangannya. Malam itu, aku menghubunginya dan mengajak bertemu dengan dalih sudah lama tak bersua. Kami membicarakan banyak hal. Dan….”

Aisha memberi jeda sembari mengusap air mata yang tak berhenti mengalir. Sedang Adel membisu di tempat duduknya. Pikirannya melayang, mengingat kembali masa-masa dahulu.

“Saat itu aku pasti sudah gila. Aku hilang kendali dan menaruh sesuatu dalam minumannya hingga pada akhirnya….”

Adel memukul meja. Wajahnya merah padam, deru napasnya tak beraturan.

“Cukup, Mbak. Tidak perlu diteruskan.” Adel berkata dengan suara gemetar.

Aisha menggeleng. “Kamu harus mendengarnya, Del. Meski dalam keadaan setengah sadar dia masih mengenaliku. Bukankah itu aneh? Fathan tahu itu tidak benar, tapi tidak berusaha menolak. Menurutmu apa sebabnya? Tentu saja karena dia juga punya rasa yang sama denganku meski tak sebesar rasanya untukmu. Tapi tak masalah, itu sudah cukup buatku. Kejadian malam itu membuatku semakin yakin untuk memperjuangkan cinta kami.”

Menyambut Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang